REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lalu Niqman Zahir, Deputi Bidang Administrasi Sekretariat Jenderal DPD RI, pendiri dan peneliti senior NAISD
Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar akibat hujan ekstrem. Banjir ini adalah produk kebijakan.
Sungai meluap bukan hanya karena langit menurunkan air, tetapi karena hutan di hulu telah lama kehilangan fungsinya dan kehilangan itu dilegalkan melalui izin pengelolaan hutan yang abai terhadap daya dukung ekosistem, terutama Daerah Aliran Sungai (DAS).
Setiap banjir bandang seolah selalu diawali dengan kalimat yang sama yakni: cuaca tak menentu, curah hujan tinggi, fenomena alam. Narasi ini menyesatkan.
Dalam ekologi, hujan hanyalah pemicu. Penyebabnya adalah rusaknya sistem penyangga alam di mana hutan tak lagi mampu menyerap air, tanah yang tak mampu lagi menahan erosi, dan sungai yang dipaksa menanggung beban melampaui kapasitasnya.
Masalahnya terletak pada arsitektur perizinan kehutanan nasional. Izin masih diterbitkan berbasis petak konsesi dan target produksi, bukan berbasis satuan ekosistem.
Sungai yang menyatukan hulu dan hilir diperlakukan sebagai urusan teknis belaka. Akibatnya, satu DAS menanggung akumulasi puluhan izin lintas sektor, tanpa pernah dihitung berapa batas ekologis yang masih bisa ditoleransi. Setiap izin sah secara administratif, tetapi bersama-sama mematikan fungsi sungai.
Di Sumatera, banyak DAS telah masuk kategori kritis. Tutupan hutan di kawasan hulu menyusut, sedimentasi meningkat, dan debit sungai menjadi ekstrem. Namun izin tetap berjalan. Tidak ada jeda ekologis, tidak ada moratorium berbasis daya dukung.
Ketika banjir datang, negara hadir dengan bantuan darurat, bukan dengan evaluasi izin. Bencana diperlakukan sebagai peristiwa alam, bukan sebagai bukti kegagalan kebijakan.
Di titik inilah negara sebenarnya sedang menghindari pertanyaan paling mendasar: siapa yang harus bertanggung jawab? Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sudah memberi jawabannya sejak lama.
Prinsip polluter pays menegaskan bahwa pihak yang menimbulkan kerusakan wajib menanggung akibatnya. Bahkan, Pasal 88 UU PPLH mengatur strict liability di mana tanggung jawab tidak bergantung pada pembuktian kesalahan, melainkan pada adanya dampak.
Artinya, ketika deforestasi (yang dilegalkan izin) melemahkan fungsi DAS dan berkontribusi pada banjir, kewajiban kompensasi kepada masyarakat terdampak adalah konsekuensi hukum, bukan pilihan kebijakan.
Yurisprudensi gugatan lingkungan di Indonesia telah berulang kali mengakui kewajiban pemulihan dan ganti rugi ekologis. Di tingkat global, rezim environmental liability menempatkan kerusakan ekosistem sebagai kerugian yang harus dibayar. Jika warga terus menanggung banjir sementara korporasi berlindung di balik legalitas izin, maka negara bukan sedang menegakkan hukum, melainkan melindungi eksternalitas kerusakan.
Sayangnya, tanggung jawab itu kerap direduksi menjadi program CSR berupa bantuan darurat dan penanaman simbolik. Pendekatan ini tidak hanya tidak memadai, tetapi juga menyesatkan.
CSR tidak pernah dirancang untuk mengganti kerugian ekologis dan sosial akibat runtuhnya fungsi DAS. Yang dibutuhkan adalah kompensasi wajib, terukur, dan mengikat dalam bentuk ganti rugi bagi masyarakat, pemulihan sungai, dan rehabilitasi hutan di hulu yang dibayar oleh pihak yang diuntungkan dari eksploitasi.
Dalam kerangka reformasi perizinan kehutanan, mekanisme asuransi kerusakan lingkungan dan bencana ekologis perlu ditetapkan sebagai persyaratan wajib penerbitan dan keberlakuan izin pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan.
Setiap pemegang izin diwajibkan memiliki polis asuransi lingkungan hidup berbasis tingkat risiko ekosistem, khususnya risiko Daerah Aliran Sungai, yang disusun berdasarkan penilaian risiko lingkungan (environmental risk assessment) dengan indikator terukur seperti: status DAS, letak konsesi (hulu–tengah–hilir), perubahan tutupan lahan, tingkat sedimentasi, serta riwayat kejadian banjir.
Polis ini berfungsi sebagai instrumen penjaminan keuangan (financial assurance) untuk menjamin ketersediaan dana kompensasi bagi masyarakat terdampak dan pendanaan pemulihan lingkungan hidup secara cepat dan terukur.
Mekanisme asuransi tersebut tidak meniadakan penerapan sanksi administratif, perdata, dan pidana sesuai peraturan perundang-undangan, melainkan memastikan bahwa risiko dan biaya kerusakan lingkungan telah diinternalisasi dalam kegiatan usaha sejak izin diterbitkan, sehingga tidak menjadi beban keuangan negara maupun masyarakat. Izin tetap dapat diberikan, tetapi risikonya wajib dijamin dan dananya harus tersedia.
Reformasi perizinan nasional semestinya berhenti pada satu hal yang jelas yaitu mengakhiri impunitas ekologis. Izin pengelolaan hutan harus tunduk pada indikator sungai (sedimentasi, debit ekstrem, kualitas air, dan frekuensi banjir). Ketika indikator ini memburuk, izin tidak cukup “diawasi”, ia harus dikurangi, dibekukan, atau dicabut, bersamaan dengan penagihan tanggung jawab pemulihan.
Banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat seharusnya menjadi momen koreksi. Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik cuaca dan prosedur. Jika negara terus menganggap banjir sebagai musibah alam, maka sesungguhnya yang sedang disembunyikan adalah kegagalan kebijakan yang dilegalkan oleh izin.

1 hour ago
2

















































