Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat (AS) kini berada di ujung tanduk, usai Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif resiprokal. Langkah ini dikhawatirkan bisa memukul industri udang nasional dan mengancam lebih dari satu juta kepala keluarga yang bergantung pada sektor ini.
Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) yang juga menaungi sektor pakan perikanan, menyatakan keprihatinannya. Di hadapan Komisi VII DPR RI, Ketua GPMT Denny Mulyono mengatakan, meski kebijakan tarif ini menguntungkan untuk ekspor ikan nila, situasinya berbanding terbalik bagi udang.
"Produk perikanan RI yang diekspor ke Amerika itu dua, ada udang, ada ikan nila. Kalau untuk nila, pasarnya ke AS itu kita cuma 7%, terbesar itu 80% diisi oleh China. Jadi resiprokal tarif ini malah baik, karena China tarifnya lebih besar dibandingkan Indonesia," kata Denny dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI, Senin (28/4/2025).
Namun, imbuh dia, nasib udang justru terbalik, karena dampaknya jauh lebih mengkhawatirkan. "Udang kita sebanyak 63-65% itu ekspornya ke Amerika. Jadi tarif ini sangat terdampak dan sangat besar," jelasnya.
Masalahnya bukan hanya volume ekspor yang besar, tapi juga besarnya beban tarif yang kini harus ditanggung. Denny merinci, "Jika tarifnya tidak turun, tetap 32%, ditambah tahun lalu kita sudah terdampak anti-dumping sebesar 3,9%. Jadi 32% ditambah 3,9%, 36% sudah kena."
Indonesia, kata Denny, saat ini berada di posisi ketiga eksportir udang terbesar ke AS, setelah India dan Ekuador. Ironisnya, Ekuador hanya dikenai tarif 10%, membuat udang Indonesia kalah saing.
"Kompetitor kami yang paling besar itu Ekuador. Jadi competitiveness kita dengan Ekuador jauh sekali bedanya," ucap dia.
Adapun yang membuat situasi semakin mendesak adalah dampak sosial-ekonominya. Denny pun memperingatkan, di industri udang sendiri tidak kurang dari 1 juta kepala keluarga (KK) akan terpengaruh dengan adanya kebijakan tarif AS ini.
"Yang terdampak bukan hanya industri pakannya saja, yang lebih besar adalah pembudidaya, teknisi tambak, pekerja panen, transportasi, hingga warung-warung sekitar," ungkapnya.
Dampak beruntun ini juga dirasakan di sektor pengolahan udang. "Tenaga kerja di processing unit itu banyak sekali, dari yang kupas udang, potong udang, semuanya akan terdampak," tambahnya.
Dengan adanya relaksasi 90 hari dari pemerintah AS, yang mana efektif hanya 60 hari, Indonesia punya waktu sangat sempit untuk bernegosiasi. "Artinya kita cuma punya 60 hari," ujar Denny tegas.
Ia pun mengungkapkan dua langkah penting yang harus segera diambil. "Yang pertama, dalam waktu dekat ini, nego sampai dapat. Kalau bisa, dapatkan tarif di bawah Ekuador. Yang kedua, memberikan kepastian kepada masyarakat pembudidaya," jelasnya.
Siapkan Strategi Lain
Sebagai amunisi dalam negosiasi dengan US Trade Representative (USTR), Indonesia menawarkan untuk menyerap lebih banyak bahan baku dari AS, sebagai imbalan pengurangan tarif.
"Kami industri pakan siap menyerap lebih banyak bahan baku dari Amerika agar mereka menurunkan tarif lebih rendah daripada Ecuador," ungkap Denny.
Namun, ia juga mengingatkan perlunya strategi jangka panjang, seperti melakukan diversifikasi pasar ekspor. "Kita harus cari market baru, meskipun itu tidak semudah membalikkan telapak tangan," katanya.
Sebagai contoh inspirasi, Denny menyinggung strategi Thailand pada tahun 2017 silam. Di mana hotel bintang 5 di Thailand diwajibkan menyediakan buffet udang budidaya tersertifikasi.
"Ini bagian dari membangun kebiasaan konsumen. Semoga kita juga bisa mengarah ke sana," harapnya.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Tarif Resiprokal Ditunda, RI Siapkan Jurus Baru
Next Article Ambisi Besar Menteri Trenggono, 5 Tahun Lagi RI Raja Udang-Kepiting