Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah melakukan evaluasi penetapan tarif angkutan udara dengan pertimbangan beberapa hal. Disebutkan, jika dibandingkan dengan tahun 2019, biaya penerbangan yang harus dikeluarkan maskapai mengalami lonjakan signfikan di tahun 2025 ini.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Lukman F Laisa mengatakan, kenaikan berbagai komponen menyebabkan maskapai membutuhkan biaya yang lebih besar dalam mereaktivasi pesawat. Hal itu diungkapkan dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Kamis (23/5/2025).
Dalam rapat tersebut, Komisi V DPR RI mengungkapkan keluhan masyarakat mengenai mahalnya harga tiket pesawat, keterlambatan penerbangan dari jadwal seharusnya, hingga kualitas layanan dan sejumlah isu terkait industri penerbangan di Indonesia.
Lukman menjelaskan, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub sedang melakukan evaluasi terkait penetapan tarif angkutan udara. Menyusul adanya masukan dari rapat-rapat sebelumnya.
"Kenaikan pada komponen maintenance yang sudah termasuk biaya maintenance reserve (cadangan pemeliharaan), menyebabkan maskapai membutuhkan biaya lebih besar untuk reaktivasi pesawat udara," kata Lukman, dikutip Jumat (23/5/2025).
Sementara, imbuh dia, maskapai pun harus berpacu dalam memenuhi pertumbuhan permintaan setelah dunia dihantam pandemi Covid-19. Ditambah dampak akibat adanya gangguan pada ekosistem suku cadang global.
Belum lagi efek masalah lain seperti kerusakan mesin, kenaikan harga kontrak, serta kenaikan kurs dolar AS.
Di sisi lain, ungkap Lukman, ada perubahan aturan mengenai pencatatan akuntansi. Halini menyebabkan adanya penurunan pada komponen biaya sewa pesawat. Perubahan itu menyangkut Pernyataan Stanadar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 73/2020.
"Menyebabkan perubahan pencataan pembukuan komponen sewa pesawat menjadi penyusutan. Serta adanya restrukturisasi utang sewa pesawat pascapandemi Covid-19," sebut Lukman.
Mengutip paparan Lukman dalam rapat tersebut, tampak ada perubahan porsi masing-masing komponen dalam biaya penerbangan. Di antaranya dipicu kenaikan signifikan komponen biaya maintenance hingga nyaris 3x lipat.
Pada 2019 biaya maintenance repair overhaul (MRO) menyumbang 7,3% dari biaya operasional pesawat. Di tahun 2025, porsinya melonjak jadi 20,14%,
Sementara biaya avtur pada tahun 2019 berkontribusi sebesar 27,70% terhadap komponen biaya penerbangan. Pada tahun 2025 porsinya naik menjadi 28,30%.
Berikut perbedaan porsi komponen biaya penerbangan, mengutip paparan Kemenhub dalam RDP dengan Komisi V DPR RI:
-
Tahun 2019:
Insurance 0.30%
Pelumas 0.20%
Gaji Teknisi 0.50%
Training 1.30%
Tunjangan 4.40%
Jasa Kebandarudaraan 2.60%
Ground Handling 3.60%
Catering 3.20%
Gaji Awak Pesawat 2.40%,
Maintenance 7.30%
Penyusutan 3.50%
Marketing and Sales 8.10%
Umum dan Organisasi 12.00%
Sewa Pesawat 22.90%
Avtur 27,7%
-
Tahun 2025:
Gaji Teknisi 0.40%
Pelumas 0.10%
Training 2.42%
Tunjangan 2.62%
Jasa, Kebandarudaraan 2.62%
Ground Handling 2.92%
Catering 3.32%
Gaji Awak Pesawat 3.52%
Penyusutan 5.44%
Maintenance 7.30%
Marketing and Sales 7,25%
Avtur 28.30%
Marketing and Sales 7.25%
Umum dan Organisasi 8.76%
Maintenance 20.14%
Sewa Pesawat 12.19%.
Apa Kata Maskapai Penerbangan?
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Garuda Indonesia Wamildan Tsani Panjaitan mengungkapkan hal senada. Dia mengatakan, ada kenaikan biaya penerbangan domestik antara saat ini dan beberapa tahun silam.
Dia mencontohkan biaya penerbangan rute Cengkareng-Denpasar saat ini dibandingkan tahun 2019.
"Jadi biaya penerbangan di tahun 2019 itu sebesar Rp194.000.000 satu kali penerbangan. Di sini dapat kita lihat adanya peningkatan sebesar Rp31.000.000 dari sisi MRO atau maintenance repair overhaul, dari sisi harga fuel juga meningkat," kata Wamildan.
Meski tarif sewa pesawat ini bisa dinegosiasikan karena Garuda Indonesia melewati proses restrukturisasi, namun ada pertumbuhan upah minimum 35 persen sejak tahun 2019.
"Kemudian ada peningkatan juga provider dari marketing dan ticketing. Ada juga interest cost, sehingga total kenaikan biaya menjadi Rp269.000.000 atau terdapat kenaikan 38 persen," ujar Wamildan.
Sementara itu, Presiden Direktur Lion Air Group Capt. Daniel Putut Kuncoro Adi yang mewakili maskapai penerbangan dalam rapat tersebut menyototi banyaknya biaya dalam industri penerbangan.
"Concern kita adalah kembali lagi kaitannya (regulasi) kementerian/lembaga, khususnya terkait dengan pengadaan impor barang sparepart. Bandingkan dengan Malaysia-Singapura, impor atau bea masuk kita masih sekitar 37,9 persen, di Malaysia itu 14 persen, Singapura 0 (persen)," kata Daniel dikutip Jumat (23/5/2025).
Padahal impor barang sparepart diperlukan untuk perawatan pesawat atau yang biasa disebut maintenance, repair, and overhaul (MRO). Seiring bertambahnya usia pesawat maka biaya MRO dari tahun ke tahun semakin besar.
Padahal, kata dia, maskapai penerbangan telah mencoba menurunkan biaya dengan menjalin komunikasi intens dengan kantor Kementerian Keuangan di bawah Sri Mulyani dan Kementerian Perdagangan di bawah Budi Santoso.
"Kami coba diskusi dengan Kementerian Keuangan membahas PMK 81/2024, dengan Kementerian Perdagangan (membahas) Permendag 3/2024 untuk membantu supaya paling tidak MRO itu diberikan kesempatan untuk boleh mengimpor (sparepart pesawat tanpa bea masuk), sama seperti airlines," ujar Daniel.
"Bagaimana sebetulnya menekan (tarif pesawat), komponen tadi (biaya maintenance) yang sebetulnya bisa ditekan, khususnya (impor) sparepart. Pesawat-pesawat kita di Indonesia semakin lama semakin tua," ujarnya.
(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Dugaan Korupsi Satelit Kemenhan - Elon Musk Mundur Dari Doge
Next Article Jelang Tahun Baru, Harga Tiket Pesawat dari Jakarta ke Bali Turun Jauh