Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5% pada 2025, lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan yang digariskan pemerintah dalam asumsi makro APBN 2025 sebesar 5,2%.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto itu didasari dari ambruknya daya beli masyarakat Indonesia pada tahun ini hingga berbagai kebijakan pemerintah dan masalah global.
"Kami proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 sekitar 5%," kata Esther dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Khusus untuk daya beli masyarakat yang melemah dan berpotensi mengganggu aktivitas ekonomi 2025, ia katakan terlihat dari laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama tiga kuartal tahun ini yang tumbuh di bawah 5%. Pada kuartal I-2024 hanya 4,91%, kuartal II 4,93%, dan kuartal III sebesar 4,91%.
Akibatnya aktivitas ekonomi Indonesia secara tahunan hanya tumbuh 4,95% pada kuartal III-2024, lebih rendah dari laju pertumbuhan per kuartal III-2023 sebesar 5,05%. Pertumbuhan 4,95% itu pun lebih rendah dari Malaysia yang tumbuh 5,34% dan Vietnam bahkan masih mampu tumbuh 7,4%.
Konsumsi rumah tangga memang sangat mempengaruhi laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia karena porsinya terhadap struktur PDB sangat mendominasi, yakni mencapai 53,08%.
"Penurunan daya beli ini terlihat dari laju pertumbuhan konsumsi kuartal I-kuartal III-2024 yang ternyata memang ekonomi itu tumbuh lebih rendah," ucap Esther.
Potensi semakin tertekannya daya beli ini ia katakan juga akan semakin besar pada 2025 karena adanya kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari saat ini 11% menjadi 12% pada 2025, membuat kenaikan harga barang akan terkerek naik 9% pada 2025.
Sementara itu, dari sisi aktivitas ekonomi global yang berpotensi tertekan pada 2025, menurutnya dipicu oleh kembali menangnya Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS pada 2024. Risiko perang perdagangan dengan perang tarif menurutnya akan semakin besar kembali dihadapi dunia, sehingga mengganggu aktivitas ekspor Indonesia.
Menurut Esther, perang ini akan melebar ke negara seperti Vietnam sebagai basis produksi Tiongkok saat ini. Indonesia memang berpotensi mendapatkan kelimpahan dari perang ini dengan keluarnya pabrikan dari Tiongkok dan Vietnam untuk dapat berinvestasi di negara sekitar yang mampu mempenetrasi pasar Amerika Serikat.
Akan tetapi, jika kondisi struktural seperti tingginya biaya untuk berinvestasi tidak segera dibenahi, maka Indonesia nasibnya akan sama seperti Perang Dagang pada 2018 yang mana Indonesia tidak mendapatkan manfaat dari perpindahan basis produksi dari Tiongkok.
"Babak baru Perang Dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok akan dimulai setelah Presiden Donald Trump secara resmi menjalankan Pemerintahannya," ucap Esther.
Selain pertumbuhan ekonomi yang hanya akan mencapai 5%, ia memperkirakan, tekanan inflasi pada 2025 akan bergerak di level 2,8%, kurs rupiah bertengger di kisaran Rp 16.100/US$, tingkat pengangguran terbuka 4,75%, dan tingkat kemiskinan 8,8%.
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Penerimaan Loyo, DPR Khawatir Target Pajak 2024 Tak Tercapai
Next Article Dari Buruh Sampai Komika Gruduk DPR Tolak RUU Pilkada