Remaja Marak Menyakiti Diri, Pola Asuh yang Seperti Ini Jadi Faktor Utama

2 hours ago 3

Home > Info Sehat Friday, 26 Sep 2025, 15:21 WIB

Perilaku menyakiti diri berbeda dengan bunuh diri, tapi keduanya bisa saling terkait.

FreepikAnak yang murung. Kenali tanda gangguan mental. Sumber:Freepik

INFOREMAJA -- Psikiater Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur, Sri Purwatiningsih menyatakan pola asuh yang tidak tepat menjadi pemicu utama maraknya perilaku melukai diri sendiri pada remaja sebagai mekanisme koping (coping mechanism).

“Biasanya perilaku melukai diri ini terjadi sebagai bentuk mekanisme koping seseorang untuk menimbulkan kelegaan atau rasa tenang ketika perasaannya sedang sedih atau cemas,” kata Sri Purwatiningsih di Samarinda, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, tindakan menyakiti diri merupakan bentuk agresi terhadap tubuh, baik secara langsung, seperti menggunakan benda tajam atau membenturkan kepala, maupun tidak langsung, seperti sengaja tidak makan atau tidak minum.

Ia menegaskan perilaku ini berbeda dengan bunuh diri, meskipun keduanya bisa saling berkaitan dalam kondisi gangguan kejiwaan yang lebih serius.

Sri mengungkapkan, hampir setiap hari ada pasien remaja di Samarinda yang datang dengan keluhan menyakiti diri, sering kali dipicu oleh masalah perundungan.

Fenomena ini juga tercermin dalam data nasional, di mana kasus massal perilaku melukai diri pernah terjadi pada puluhan pelajar di Bengkulu Utara, Bali, dan Yogyakarta.

Sri menjelaskan sebagian besar kasus melukai diri terjadi pada individu dengan depresi, gangguan kecemasan, bipolar, hingga gangguan kepribadian ambang.

Akar masalahnya kerap berasal dari masa kanak-kanak, terutama akibat pola asuh keras yang tidak memberikan ruang bagi anak untuk memperoleh validasi emosinya.

“Ketika seorang anak dilarang menangis atau mengekspresikan kesedihan, ia tidak belajar cara mengelola emosi secara sehat,” ujarnya.

Akibatnya, saat dewasa dan menghadapi tekanan emosional berat, melukai diri menjadi jalan pintas untuk meredakan perasaan tidak nyaman.

Selain pola asuh, kata Sri, faktor lain yang turut berkontribusi meliputi lingkungan pertemanan, tekanan di sekolah, hingga kerentanan genetik.

Meski begitu, ia menilai kesadaran mencari bantuan profesional sudah mulai tumbuh di kalangan remaja.

“Banyak juga dari mereka yang datang untuk berkonsultasi atas inisiatif sendiri, bahkan terkadang tanpa dukungan keluarga yang masih terbelenggu stigma negatif terhadap kesehatan jiwa,” tutur Sri.

Sumber: Antara

Image

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|