Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan awal pekan ini, Senin (2/12/2024), seiring dengan munculnya sejumlah sentimen domestik yang membebani pasar keuangan.
Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan hari ini (2/12/2024) rupiah tertekan hingga melemah sebesar 0,35% ke Rp 15.895/US$. Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.915/US$ hingga Rp15.850/US$.
Bersamaan dengan melemahnya rupiah hari ini (2/12/2024), Indeks Dolar AS (DXY) alami penguatan hingga 0,57% tepat pukul 15.00 ke posisi 106,34. Hal ini tentu menjadi tekanan bagi rupiah dan menjadi salah satu faktor ambruknya nilai tukar RI.
Selain tertekan oleh indeks dolar, ambruknya nilai tukar garuda hari ini juga dipicu oleh sentimen rilis data terbaru dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang kembali mencatat kontraksi pada November 2024 serta rilis data inflasi yang tercatat sebesar 0,30%.
PMI Indonesia tercatat berada di angka 49,6, sedikit membaik dibandingkan Oktober yang berada di level 49,2, namun tetap di bawah ambang batas 50 yang menandakan ekspansi. Ini merupakan bulan kelima berturut-turut sektor manufaktur berada dalam fase kontraksi.
Kontraksi berkelanjutan ini mencerminkan lemahnya pesanan baru dan penurunan lapangan kerja, yang mengindikasikan masih lesunya aktivitas ekonomi domestik.
Kondisi ini menciptakan kekhawatiran di kalangan investor terhadap prospek pemulihan ekonomi, terutama di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto yang memulai masa jabatannya pada Oktober lalu.
Selain itu, sentimen negatif juga diperburuk oleh data inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Pada November 2024, inflasi tercatat sebesar 0,30% secara bulanan (month-to-month), lebih tinggi dibandingkan inflasi Oktober yang sebesar 0,16%.
Inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan seperti bawang merah, tomat, dan emas perhiasan, yang memberikan andil signifikan terhadap kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Secara tahunan (year-on-year), inflasi mencapai 1,55%, sedikit lebih tinggi dari proyeksi konsensus pasar sebesar 1,49%.
Meningkatnya tekanan inflasi ini dikhawatirkan akan membatasi ruang gerak Bank Indonesia untuk mempertahankan kebijakan moneternya, yang selama ini bersifat akomodatif demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kekhawatiran ini semakin menambah tekanan pada nilai tukar rupiah, terutama di tengah kondisi global yang belum stabil.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Masih Penuh Tekanan, IHSG "Terancam" Merosot ke Level 7.000-an
Next Article Tunggu Data Ekonomi Penting, Rupiah Menguat Lawan Dolar AS