Jakarta, CNBC Indonesia - Surat berharga negara (SBN) Indonesia masih terus diborong oleh investor asing hingga akhir bulan yang lalu. Kondisi itu terjadi saat instrumen investasi portofolio lainnya ditinggal para investor.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia per 25-28 November 2024, nonresiden atau investor asing tercatat jual neto Rp 2,01 triliun di pasar saham, beli neto Rp 1,89 triliun di pasar SBN, dan jual neto Rp 1,66 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Ekonom Bank CIMB Niaga Mika Martumpal menjelaskan, masih tingginya minat investor asing terhadap pasar SBN di Indonesia karena imbal hasil yang ditawarkan dari suku bunga riil surat utang pemerintah Indonesia masih tinggi.
Tercermin dari yield SBN tenor 10 tahun yang masih di kisaran 6,90% sedangkan inflasi hanya di level 1,71%. Sedangkan, yield surat utang pemerintah AS atau US Treasury Note 10 tahun hanya di level 4,26% dengan inflasi di kisaran 2,6%.
"Sehingga dengan kondisi saat ini, yang kita lihat dengan real interest rate yang sangat besar, jadi satu hal yang sangat menarik bagi investor," ucap Mika dalam program Power Lunch CNBC Indonesia dikutip Senin (2/12/2024).
Mika mengakui masih ada risiko yang dicermati oleh para investor asing saat ingin berinvestasi di Indonesia, seperti risiko kurs dan kencenderungan negara-negara asing memberikan imbal hasil yang makin tinggi untuk menarik aliran modal, seperti di AS dan China.
Namun, ia menekankan, risiko tersebut terjadi secara global, sehingga hanya sedikit memengaruhi sentimen investor dalam berinvestasi di Indonesia. Secara garis besar, investor masih menaruh perhatian utama terhadap real interest rate.
"Saya pikir tetap yang utama kualitas kredit, kemudian nilai tambah dari SBN kita yang menjanjikan real interest rate yang sangat bagus, saya pikir itu tetap jaga daya tarik SBN kita walaupun negara-negara lain beri outlook ekonomi yang sangat baik," ungkapnya.
Pernyataan ini pernah disampaikan juga oleh Division Head Treasury Business PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), Itang Rusdinar. Ia menjelaskan, daya tarik instrumen investasi portofolio di Indonesia saat ini masih terletak pada tingginya imbal hasil riil dari instrumen itu.
"Salah satu indikatornya real yield, berapa sih return yang diperoleh itu tentu membandingkan return dari instrumen dikurangi inflasi," kata Itang dalam program Power Lunch CNBC Indonesia dikutip Senin (11/11/2024).
Khusus yield SBN tenor 10 tahun sendiri per awal November 2024 memang masih berada di level 6,75%, dan masih jauh lebih tinggi dari yield surat utang pemerintah AS atau US Treasury Note (UST) 10 tahun turun ke level 4,32%.
"Kalau dari angka itu katakan sekarang SBN 10 tahun returnnya di 6,7%, inflasi kita di 1,7%, berarti realnya kita masih dapat 4%. Itu masih tertinggi di ASEAN, karena kalau dibanding Singapura return nya sudah sangat rendah, di bawah 1% real yieldnya," ucap Itang.
Di sisi lain, bila memperhitungkan risiko kurs antara dolar AS dengan rupiah menurut Itang juga masih menguntungkan, karena biaya hedging melalui skema swap kurs terbilang rendah di kisaran 1,6%-1,7%. Sehingga, tak heran bila investor masih marak masuk ke instrumen investasi portofolio RI.
Imbal hasil terakhir dari lelang SRBI yang ditawarkan BI pun per 8 November 2024 masih mencapai 6,78% untuk tenor 6 bulan, dan untuk tenor 12 bulan SRBI bahkan rata-rata tertimbang pemenangnya mencapai 7,03%.
"Nah kelihatannya offshore masuk dengan cara carry trade. Jadi dolarnya di swap kan, cost of swapnya murah sekitar 1,6%-1,7% dapat SRBI 7% jadi total dia masih dapat di atas 5%," tegas Itang.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: BI Kuasai Surat Berharga Negara Hingga 28%, Apa Risikonya?
Next Article SRBI Lebih Dilirik Investor Dibandingkan SBN, Ini Buktinya!