Jakarta, CNBC Indonesia - Tarif ojek online (ojol) sering kali berubah-ubah meski jarak yang ditempuh sama. Hal ini diungkap oleh M Irfan Dwi Putra, Junior Researcher di Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada.
Adapun, temuan Irfan tersebut didasarkan pada hasil Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh CfDS bekerja sama dengan Pulitzer Center Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya dua bulan lalu, dia mencatat untuk perjalanan sejauh 5,1 kilometer dari kawasan Blok M, Jakarta Selatan ke rumahnya, ia perlu membayar Rp17.500.
Namun, selang tiga minggu kemudian, untuk rute yang sama tarifnya naik menjadi Rp 26.500. Sekalipun jarak yang dilalui tetap sama dan hanya waktu tempuhnya yang lebih lambat empat menit.
Lantas bagaimana hal ini bisa terjadi?
Menurut Irfan jawabannya terletak pada teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang digunakan oleh perusahaan transportasi online.
Dalam operasionalnya, industri ride-hailing rupanya menggunakan sistem AI yang tidak hanya menentukan tarif, tetapi juga berguna untuk mempertemukan pengemudi dengan pengguna serta merekomendasikan rute tercepat.
Sistem AI bekerja dengan algoritma kompleks yang memproses data, mengenali pola, dan membuat keputusan secara otomatis. Salah satu cabang AI yang digunakan adalah machine learning memungkinkan sistem belajar sendiri dari data tanpa perlu diprogram secara khusus.
Namun, persoalannya yakni seiring dengan semakin kompleksnya sistem pembelajaran AI, semakin sulit pula bagi manusia untuk memahami bagaimana keputusan dibuat.
"Jadi, manusia bisa mengetahui input dan output dari sistem AI tersebut, tetapi tidak tahu bagaimana cara output tersebut dihasilkan. Hal inilah yang menyebabkan sistem kerja internal algoritma AI sering disebut sebagai black box atau kotak hitam yang tertutup," kata Irfan dikutip dari theconversation, Sabtu (15/3/2025).
Lebih lanjut, Irfan menjelaskan, dalam sistem transportasi online, cara kerja black box yang tidak transparan ini membuat tarif bisa berubah-ubah tanpa alasan yang jelas.
Algoritma AI sangat mungkin menetapkan tarif yang berbeda untuk perjalanan dengan asal dan tujuan yang sama tanpa alasan yang dapat dimengerti oleh pengguna. Ketidakjelasan dalam penentuan tarif ini tentu saja mempengaruhi kepercayaan pengguna.
Sistem ini juga berdampak pada driver. Terlebih cara kerja AI dalam mempertemukan driver dengan pengguna tidak bisa ditakar.
"Pengemudi mitra yang lokasinya dekat dengan pengguna, belum tentu akan mendapatkan pesanan karena algoritma bekerja dengan mempertimbangkan banyak faktor-yang tidak diketahui driver," tambahnya.
Kondisi ini lantas mengakibatkan distribusi pesanan tidak merata. Dengan demikian, berimbas pada pendapatan driver yang tidak stabil serta jam kerja yang semakin panjang dan tidak menentu.
"Driver pun bisa merasa dirugikan karena sistem yang berlaku cenderung eksploitatif dan tidak adil. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan ini bisa memperburuk kondisi kerja di industri gig economy," ujarnya.
Butuh Aturan dan Transaparansi
Untuk mengatasi masalah ini, kata dia, perlu ada aturan yang mewajibkan perusahaan transportasi online lebih transparan membuka sistem mereka.
Menurut dia, perkembangan AI dewasa ini telah memunculkan konsep yang disebut sebagai explainable AI (XAI). Melalui konsep ini, sistem AI bisa menjelaskan bagaimana mereka mengambil keputusan hingga akhirnya menghasilkan output tertentu.
Dalam konteks industri transportasi online, XAI dapat menjelaskan bagaimana tarif dihitung dan mengapa tarif yang berbeda berlaku untuk perjalanan dari dan ke tempat yang sama.
XAI juga bisa menunjukkan alasan mengapa driver A yang mendapatkan pesanan. Sementara driver B tidak demikian meski keduanya berada di tempat yang sama.
"Penerapan XAI dalam industri ride-hailing bisa diberlakukan jika ada regulasi yang mewajibkan penyelenggara sistem AI mengungkapkan cara kerja sistem AI mereka," katanya.
Adapun, beberapa negara di dunia diketahui sudah mulai mengatur hal ini. Uni Eropa misalnya, lewat EU AI Act mewajibkan sistem AI dalam layanan penting seperti kesehatan, keselamatan, atau hak-hak fundamental lainnya, didesain dengan transparan.
"Jika merujuk pada Annex III EU AI Act, industri ride-hailing masuk dalam kategori hak-hak fundamental," ujar Irfan.
Ia pun menilai regulasi yang mewajibkan transparansi dalam sistem AI akan membuat platform ride-hailing bertanggung jawab menyediakan informasi tentang cara kerja sistem AI di dalam platformnya.
Salah satu hal yang dapat dilakukan misalnya dengan memberikan akses kepada pengguna maupun driver untuk mengetahui komponen tarif dan cara penghitungannya, serta faktor yang mempengaruhi lonjakan harga.
Selain itu, platform juga perlu menjelaskan bagaimana sistem matching antara pengguna dengan driver bekerja. Dengan transparansi ini, keputusan algoritma tidak akan terasa sewenang-wenang lagi.
"Pengguna dan driver pun bakal merasa diperlakukan lebih adil dalam transaksi," katanya.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kota Masa Depan, Smart City Adopsi AI Biar Warga Makin Nyaman
Next Article RI Belum Punya, Ini Aturan Hukum Driver Online di Negara Lain