Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia resmi menjadi anggota BRICS, Selasa. Pengumuman diberikan Brasil, pemegang Presidensi BRICS saat ini.
Dikatakan bahwa Indonesia bisa "berbagi keinginan dengan anggota lainnya untuk mereformasi institusi pemerintahan global". Indonesia juga dianggap bisa "memberikan kontribusi positif dalam kerja sama di Global South".
Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI juga mengonfirmasi ini. Lembaga itu menyebut masuknya RI ke BRICS adalah "pencapaian ini memperlihatkan peningkatan peran aktif Indonesia di berbagai isu global" selain "menjadi momen memperkuat kerja sama multilateral demi mewujudkan tatanan global yang inklusif dan aktif".
"BRICS menjadi wadah penting bagi Indonesia untuk menguatkan kerja sama Selatan-Selatan, memastikan suara dan aspirasi negara-negara Global South terdengar dan terwakili dalam proses pengambilan keputusan global," tegas Kemlu dalam siaran persnya.
"Kami berdedikasi penuh untuk bekerja sama dengan seluruh anggota BRICS, ataupun dengan pihak lainnya, untuk mewujudkan terciptanya dunia yang adil, damai, dan sejahtera," tambahnya.
Perlu diketahui BRICS didirikan tahun 2009 oleh lima negara. BRICS sendiri merupakan akronim dari masing-masing negara tersebut yakni Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa (Afrika Selatan/Afsel). Dengan bergabungnya RI, BRICS memiliki 11 anggota.
Anggota tetap BRICS lain adalah Iran, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA). Sementara mitra BRICS saat ini adalah Turki, Aljazair, Belarusia, Kuba, Bolivia, Malaysia, Uzbekistan, Kazakhstan, Thailand, Vietnam, Nigeria dan Uganda.
BRICS pada intinya adalah blok ekonomi negara berkembang. Tapi, apa sebenarnya manfaat yang didapat RI dari bergabung menjadi anggota BRICS?
Mengutip Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, sebenarnya untuk masuk ke kelompok tertentu, untung rugi memang harus dilihat. Baik manfaat secara ekonomi, diplomasi maupun geopolitik dan keamanan.
"BRICS seharusnya merupakan kelompok yang bertujuan memanjukan agenda ekonomi kelompoknya, tetapi belum terlihat agenda ekonomi yg dimajukan," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia dikutip Rabu (8/1/2025).
"Ada beberapa yang cukup baik... tetapi permasalahannya cukup banyak, dari mulai kurangnya resources, sampai kurangnya dukungan dari anggota. Apalagi anggota BRICS sering tidak cocok satu sama lain, seperti India dan China," jelanya lagi.
"Berbagai agenda ekonomi juga dilandasi dari keinginan melebarkan pengaruh politik, dibandingkan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan. Jadi dari sisi ekonomi, manfaatnya sangat terbatas," tambahnya.
Bukan hanya itu, Yose menilai, dari sisi geopolitik BRICS juga membawa ketidakjelasan dalam visi dan misi yang dibawa. Karena, ujarnya, begitu beragamnya interests dari anggota.
"Setiap anggota punya keinginan dan sering berlawanan dengan yang lain. Berbeda dari G7 yg memang mempunyai leader, USA, di BRICS masing-masing berusaha menyetir agenda geopolitiknya," jelasnya.
"Pertanyaannya apakah Indonesia masih bisa memainkan peran geopolitik di BRICS. Jangan-jangan malah hanya terbawa dinamika yang counter productive," tambahnya.
Ia menilai RI sebenarnya bisa lebih fokus pada aksesi di Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). G20 juga bisa digunakan dengan lebih optimal.
Prabowo Sebagai Tokoh Moneter & Perdagangan Baru
Hal senada dikatakan Founder of Synergy Policies Dinna Prapto Raharja. Dikatakannya sebenarnya manfaat BRICS secara ekonomi untuk RI belum terlihat mengingat di tataran Kementerian Perekonomian misalnya, justru tidak ada yang menangani teknis tata kelola BRICS.
"Agenda BRICS 2025 kan cukup teknis ya, tak mungkin Kemenkeu (Kementerian Keuangan) bisa mengumpulkan bahan tentang itu. Stakeholdersnya bukan di Kemenkeu," ujarnya.
Tapi, dijelaskannya, ini akan membuat Presiden RI Prabowo Subianto tampil sebagai tokoh yang aktif mendorong sistem moneter dan perdagangan baru. Meski di sisi lain, Brasil sebagai presidensi BRICS juga memiliki kepentingan tersendiri.
"Masuk ke BRICS akan membuatnya tampil sebagai tokoh dunia berkembang yang aktif mendorong sistem moneter dan perdagangan baru," jelas Dina.
"Sementara itu Brasil punya kepentingan agar BRICS dan Brasil sebagai presidency tahun 2025 tidak dikunci langkahnya oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutu AS," tambahnya.
"Negara-negara pendiri BRICS itu sebenarnya belum solid secara urusan ekonomi, tapi mereka tahu the time is ticking for their opportunity to make their economic standing matter. And it has to be quick."
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, (Unpad), Teuku Rizasyah menilai masuknya BRICS bisa membawa status Indonesia naik. Dari pemimpin tradisional di ASEAN menjadi bermain di global.
Namun menurutnya hal ini akan bergantung pula pada komunikasi Presiden Prabowo nantinya. Ketika ada kritikan dari Barat, RI harus menunjukkan bahwa negara ini bebas aktif dan kreatif, di mana bergabungnya dengan BRICS memang justru menaikkan ekonomi.
Konsekuensi AS dan Laut China Selatan
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani, Prof. Hikmahanto Juwana, sebenarnya RI masuk ke BRICS sebangai penyeimbang. Di mana sebenarnya politik bebas aktif kita tidak hanya di negara barat saja.
Tapi, tegasnya, memang ada konsekuensi yang harus diwaspadai. Ia merujuk kebijakan tarif Donald Trump, di mana pebisnis asal New York tersebut telah sesumbar akan menghukum negara BRICS jika nekad melakukan dedolarisasi.
"Jangan sampai fasilitas yang Indonesia didapat selama ini di AS, dicabut. Misalnya tekstil kita," katanya.
Selain itu, ia berharap masuknya Indonesia bisa menujukkan bahwa BRICS sebenarnya tidak dikendalikan China, dengan kepentingannya. Melainkan semua negara-negara yang menjadi anggota.
"Begitu pula dalam bidang diplomasi global, yang hanya menjadi alat dari China, Rusia serta India," katanya lagi.
Komentar RI sebagai penyeimbang juga dikatakan pengamat dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Yon Mahmudi. Indonesia, kata dia, tetap akan diuntungkan dengan mendapatkan sumber baru kerja sama ekonomi dan investasi, tapi khususnya dalam rivalitas China dan AS, RI menjadi bagian penyeimbang.
"Indonesia dalam hal rivalitas China dan AS, tidak mendukung adanya pendekatan konfrontasi jadi cenderung mengedepankan dialog dan negosiasi," jelasnya.
"Apalagi Indonesia dalam klaim Laut China Selatan (LCS) dengan China... inginnya bisa dilakukan pendekatan secara dialog dengan negosiasi memberikan win-win solutin. Maka dengan masuknya Indonesia ke dalam BRICS akan semakin mudah membicarakan masalah-masalah LCS atau isu strategis lain," tambahnya.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Masih Panas, Menlu AS Kunjungi Korsel
Next Article Airlangga Bagikan Cita-Cita Prabowo, RI Bakal Masuk BRICS!