Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) mencetak kemenangan diplomatik di Amerika Latin setelah Panama memutuskan untuk tidak memperpanjang partisipasinya dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) China. Keputusan ini disambut baik oleh Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang menyebutnya sebagai "langkah besar ke depan" bagi hubungan bilateral AS-Panama serta keberlanjutan status netral Terusan Panama.
Langkah ini menjadi pukulan bagi Beijing, yang selama ini berusaha memperluas pengaruh ekonominya di kawasan melalui investasi infrastruktur berskala besar. Pemerintahan Presiden Donald Trump telah lama menuding China menggunakan BRI sebagai alat diplomasi jebakan utang, yakni strategi yang membuat negara penerima investasi terjebak dalam ketergantungan finansial terhadap Beijing.
Dalam pertemuannya dengan Rubio, Presiden Panama José Raúl Mulino menegaskan bahwa negaranya tidak akan memperbarui keterlibatannya dalam BRI, dan bahkan bisa mengakhiri partisipasi lebih awal.
"Kesepakatan itu sebenarnya masih berlaku dua hingga tiga tahun ke depan, tetapi kami mempertimbangkan opsi untuk menghentikannya lebih cepat," ujar Mulino tanpa memberikan rincian lebih lanjut, dilansir The Guardian, Selasa (4/2/2025).
Rubio, yang mengunjungi Panama sebagai bagian dari tur pertamanya ke Amerika Latin dalam kapasitasnya sebagai Menteri Luar Negeri AS, segera merespons keputusan tersebut dengan optimisme.
"Pengumuman Presiden @JoseRaulMulino bahwa Panama akan membiarkan partisipasinya dalam BRI China berakhir adalah langkah besar ke depan bagi hubungan AS-Panama, untuk kebebasan Terusan Panama, serta bukti kepemimpinan @POTUS dalam melindungi keamanan nasional kita dan mendukung kesejahteraan rakyat Amerika," tulis Rubio di platform X setelah meninggalkan Panama.
Keputusan Panama ini menambah daftar negara yang mundur dari BRI setelah menghadapi tantangan finansial akibat proyek-proyek China. Sebelumnya, Italia menarik diri dari inisiatif tersebut pada 2023, sebagian besar karena tekanan AS dan kekhawatiran atas meningkatnya ketergantungan ekonomi pada Beijing.
Profesor Yanzhong Huang, peneliti senior di Dewan Hubungan Luar Negeri AS, menyebut langkah Panama sebagai "kemenangan diplomasi brinkmanship Trump", tetapi mempertanyakan apakah strategi serupa dapat diterapkan di wilayah lain.
"AS kini tampaknya semakin memfokuskan perhatiannya pada Amerika Latin, kawasan yang masih sangat bergantung pada dukungan dan perdagangan AS," kata Huang.
"Namun, saya ragu bahwa AS dapat menggunakan pengaruh yang sama untuk memaksa negara-negara Asia mengambil keputusan serupa, mengingat China sudah menjadi aktor paling dominan di kawasan tersebut."
Sementara itu, kedutaan besar China di Washington tidak memberikan komentar terkait keputusan Panama maupun isu Terusan Panama.
China Kehilangan Pegangan di Panama?
Panama adalah negara pertama di Amerika Latin yang secara resmi bergabung dengan BRI pada November 2017, hanya 5 bulan setelah mengalihkan hubungan diplomatiknya dari Taiwan ke China. Sejak saat itu, Beijing telah berinvestasi dalam berbagai proyek besar di Panama, termasuk pembangunan jembatan keempat di atas Terusan Panama yang dikerjakan oleh dua perusahaan milik negara China.
Namun, keterlibatan perusahaan China di sekitar Terusan Panama telah lama menjadi perhatian Washington. Beberapa perusahaan China, termasuk CK Hutchison Holdings yang berbasis di Hong Kong, saat ini mengoperasikan dua pelabuhan di kedua ujung Terusan Panama, yang dianggap sebagai posisi strategis yang berpotensi mengancam kepentingan AS.
Pemerintahan Trump menganggap kehadiran China di sana sebagai ancaman langsung terhadap perjanjian netralitas AS-Panama yang ditandatangani pada 1977.
Menurut Kementerian Luar Negeri AS, Rubio menyampaikan pesan langsung dari Trump kepada Mulino bahwa keberadaan China di sekitar terusan adalah pelanggaran terhadap perjanjian tersebut.
Sebagai tanggapan, Mulino mengisyaratkan bahwa Panama akan meninjau ulang konsesi selama 25 tahun yang diberikan kepada CK Hutchison Holdings, yang diperpanjang pada 2021. Ia mengatakan bahwa audit terhadap kesepakatan ini akan dilakukan sebelum keputusan lebih lanjut diambil.
"Jika audit menunjukkan adanya indikasi korupsi dalam kontrak tersebut, ini bisa menjadi celah bagi Panama untuk membatalkan kesepakatan dan membuka kembali proses penawaran kepada perusahaan AS atau Eropa," kata Ryan Berg, Direktur Program Amerika di Center for Strategic and International Studies di Washington.
Dampak Global
Bagi Washington, keputusan Panama untuk meninggalkan BRI adalah keberhasilan diplomatik yang memperkuat pengaruh AS di kawasan, terutama di tengah meningkatnya ketegangan dengan China. Namun, langkah ini juga bisa menimbulkan konsekuensi ekonomi bagi Panama, mengingat China merupakan salah satu mitra dagang terbesarnya.
Beijing telah lama membela inisiatif BRI sebagai program pembangunan global yang telah membantu lebih dari 100 negara dalam membangun infrastruktur utama seperti pelabuhan, jembatan, dan rel kereta api. Namun, berbagai negara yang berpartisipasi dalam proyek ini menghadapi tantangan besar akibat biaya proyek yang tinggi dan kesulitan dalam membayar kembali pinjaman dari China.
Dengan makin banyak negara mempertimbangkan untuk menarik diri dari BRI, masa depan inisiatif ini kini dipertanyakan. Apakah Panama akan menjadi contoh bagi negara-negara lain untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan China, ataukah keputusan ini hanya bersifat spesifik terhadap konteks geopolitik di Amerika Latin?
Bagi AS, keputusan Panama adalah sinyal bahwa strategi Trump dalam menekan negara-negara Amerika Latin untuk menjauh dari China mulai menunjukkan hasil. Namun, apakah Washington dapat mempertahankan momentum ini di wilayah lain-terutama di Asia dan Afrika, di mana pengaruh China jauh lebih kuat-masih menjadi pertanyaan besar.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: China Bantah Tuduhan Trump Intervensi Terusan Panama
Next Article Trump Mau Kuasai Terusan Panama, AS Jadi Raja Perdagangan Dunia?