Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terus mendukung pelaksanaan program mandatori biodiesel oleh pemerintah, yang rencananya akan meningkatkan campuran biodiesel menjadi 40% (B40) pada tahun depan.
Direktur BPDPKS, Normansyah Hidayat Syahruddin menilai pengembangan biodiesel sebagai sumber energi baru dan terbarukan tidak hanya membantu menekan emisi gas rumah kaca, tetapi juga berkontribusi dalam mengurangi kebutuhan devisa untuk impor bahan bakar.
"Dari program B35 yang kita laksanakan saat ini, nilai devisa yang bisa dihemat mencapai Rp512,07 triliun," kata Normansyah dalam Seminar Rumah Sawit Indonesia (RSI) di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Perlu diketahui, BPDPKS memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung keberhasilan program mandatori biodiesel. Sebagai pengelola dana dari pungutan ekspor kelapa sawit, BPDPKS memastikan keberlangsungan program tersebut. Dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan bauran biodiesel dari B35 ke B40, B50, dan seterusnya, peran BPDPKS menjadi semakin krusial.
Foto: Bahan Bakar B35. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Bahan Bakar B35. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
"Pemerintah berhasil secara konsisten mempertahankan program mandatori biodiesel melalui masa pandemi dan gejolak harga minyak dunia. Bahkan di tahun 2023 telah dilaksanakan implementasi B35 dengan realisasi penyaluran biodiesel sebesar 12,26 Juta kiloliter, dan di tahun 2024 sampai dengan Agustus volume penyaluran biodiesel sebesar 8,35 Juta kiloliter," ujarnya.
Normansyah mengatakan, sebagai industri padat karya, sektor kelapa sawit memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian. Katanya, sektor ini mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan, mengurangi inflasi dan mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
Di tengah peran yang sangat signifikan tersebut, katanya, industri sawit nasional juga menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut diantaranya, produktivitas yang rendah (rata-rata 2,8 ton CPO per hektar per tahun), adanya perkebunan sawit dalam kawasan hutan (terindikasi 3 juta hektar), persoalan legalitas, sarana dan prasarana yang belum memadai, hingga tantangan regulasi.
"Selain tantangan dari dalam negeri, industri sawit juga menghadapi tantangan global yang juga sangat kompleks. Seperti hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif, serta masih maraknya black campaign sawit di luar negeri," pungkasnya.
(wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Menanti Strategi Prabowo Bawa RI Keluar Dari Jerat Impor BBM
Next Article Tok! Harga Indeks Pasar Biodiesel Juli 2024 Naik Rp12.161 per Liter