Kesaksian Warga RI Jadi Penyintas Bom Nuklir: Kulit Serasa Terbakar

13 hours ago 2

8000hoki List ID server Slot Maxwin Japan Terbaru Gampang Lancar Win Terus

hoki kilat slot Data Login website Slots Maxwin China Online Sering Lancar Menang Full Online

1000hoki.com List ID situs Slots Maxwin Terbaik Sering Lancar Win Full Non Stop

5000 hoki Situs situs Slots Gacor China Terbaik Gampang Menang Setiap Hari

7000 Hoki Online Daftar web Slot Gacor Terbaik Mudah Scatter Terus

9000hoki.com Demo server Slots Maxwin Vietnam Terkini Sering Scatter Full Setiap Hari

List Akun Slots Maxwin server Philippines Terkini Pasti Jackpot Setiap Hari

Idagent138 Slot Gacor Terpercaya

Luckygaming138 Daftar Slot Maxwin Online

Adugaming Daftar Slot Maxwin Online

kiss69 Slot Gacor Terbaik

Agent188 login Slot Anti Rungkat

Moto128 login Id Slot Terpercaya

Betplay138 Daftar Akun Slot Game Online

Letsbet77 login Akun Slot Anti Rungkad Terpercaya

Portbet88 Daftar Id Slot Gacor Terpercaya

Jfgaming login Slot Anti Rungkat Online

MasterGaming138 login Akun Slot Anti Rungkat Terpercaya

Adagaming168 Daftar Akun Slot Game Terbaik

Kingbet189 Id Slot Game

Summer138 Daftar Slot Anti Rungkad Terpercaya

Evorabid77 login Id Slot Gacor Terbaik

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari itu, 6 Agustus 1945, di Hirsohima Jepang berjalan sebagaimana mestinya. Langit cerah dan burung berkicau di atap rumah. 

Para ibu terlihat sibuk mengurusi urusan rumah tangga di dapur-dapur kecil mereka. Lalu anak-anak antusias berlarian tanpa arah. 

Rasa syahdu ini dialami juga oleh mahasiswa Indonesia, Sjarif Adil Sagala. Pukul 8 pagi, Sagala memulai aktivitas seperti biasa. Bangun tidur, beres-beres kamar, dan pergi ke kampus. Tak lupa, dia juga menyantap sarapan terlebih dahulu.

Hari itu memang ada kabar kalau negara yang memberinya beasiswa berada di titik nadir kekalahan dalam teater Perang Dunia II di Asia. Namun, sebagai mahasiswa asing, Sagala tak ambil pusing soal itu. Terpenting adalah kuliah dulu.

Hanya saja, kabar tersebut dibarengi oleh suara gemuruh yang datang tak lama setelah Sagala menutup tempat makan. Dia langsung melihat langit dan berpikir itu adalah pesawat tempur AS. Ternyata benar.

"Ahh.. itu hal biasa," pikirnya.

Memang, selama perang pesawat tempur sering mondar-mandir. Bahkan, menjadi tontonan setiap hari. Namun, saat melihat langit kedua kali, tragedi pun muncul.

"Tiba-tiba terdengar suara aneh dan.... sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!," tutur Sagala dalam memoar Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990).

Sagala langsung menutup mata dengan lengan. Bersamaan itu muncul asap raksasa membumbung tinggi ke awan. Angin besar langsung berhembus kencang. Saat hendak menutup jendela dan bergegas kabur, sayang Sagala tak kesampaian.

Baru 1-2 langkah, dia terhempas tertimpa bangunan ambruk. Waktu seakan-akan berhenti. Sagala tak sadar beberapa menit. Bangun-bangun dia hanya merasakan kulit terbakar imbas angin besar super panas. Lalu muka penuh darah. Badan tertimpa reruntuhan.

Teriakan minta tolong tak digubris satupun orang. Yang ada dia malah mendengar rintihan suara orang lain yang sekarat. Pada titik ini, Sagala berpikir ajal sudah merayap di udara, menanti giliran malaikat maut mencabut nyawanya. Apalagi, api juga mulai berkobar.

Untungya, setelah berulangkali teriak, teman sesama mahasiswa Indonesia menolong Sagala. Mahasiswa itu bernama Hasan Rahaya. Hasan mengeluarkan Sagala dari reruntuhan dan membawanya ke lokasi aman.

Namun, maut tak berhenti sampai di situ. Hasan dan Sagala memang selamat, tetapi kondisi tubuh bagian dalam 'hancur'. Di tempat pengungsian di Tokyo, dokter mengatakan tubuh mereka terkena radiasi super tinggi. Sel darah putih di tubuh menurun drastis.

Normalnya, manusia punya 4.000–11.000 sel darah putih per mikroliter darah. Sementara, keduanya hanya punya kurang dari 4.000. Mereka pun kritis. Dokter tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Sagala sempat disebut "tipis kemungkinan untuk hidup."

Beruntung, kedua mahasiswa Indonesia itu berhasil melewati masa kritis satu minggu. Selama lima tahun, keduanya harus berada di bawah pemantauan dokter. Barulah setelah itu pulang ke Indonesia.

Saat tiba di Indonesia, Syarif Adil Sagala memulai hidup sebagai pengusaha. Pengalaman tinggal di Jepang membuat Sagala mendirikan perusahaan mie instan pertama di Indonesia, yakni Supermie, pada 1969. Sementara Hasan membangun usaha pelayaran dan kargo.

Keduanya tercatat sejarah sebagai hibakusha (被爆者). Ini merupakan istilah kepada penyintas ledakan nuklir dahsyat di Hiroshima yang memanggang hidup-hidup 120 ribu orang.


(mkh/mkh)

Saksikan video di bawah ini:

Gaji Karyawan Jepang Turun, Kok Bisa?

Next Article Video: September 2024, Jepang Melanjutkan Deflasi 2,5%

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|