Jakarta,CNBC Indonesia - Harga minyak naik lebih dari 2% karena Israel mengancam akan menyerang negara Lebanon jika gencatan senjatanya dengan Hezbollah tidak terjadi. Di sisi lain, investor bersiap menghadapi pengumuman OPEC+ terkait perpanjangan pemotongan pasokan minggu ini.
Berdasarkan data Refinitiv pada perdagangan Selasa (3/12/2024) harga minyak acuan Brent menguat 2,49% ke US$73,62 per barel. Sementara acuan Amerika Serikat West Texas Intermediate (WTI) melesat 2,7% ke US$69,94 per barel.
Pasukan Israel terus melakukan serangan terhadap apa yang mereka klaim sebagai pejuang Hezbollah yang mengabaikan kesepakatan gencatan senjata pekan lalu di Lebanon. Pejabat tinggi Lebanon telah meminta Washington dan Paris untuk menekan Israel agar tetap menghormati gencatan senjata.
Risiko terhadap gencatan senjata ini membuat beberapa pedagang minyak khawatir tentang ketegangan di Timur Tengah, kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Meskipun konflik di Lebanon belum mengakibatkan gangguan pasokan minyak, pedagang akan memantau dengan cermat ketegangan antara Iran dan Israel dalam beberapa bulan mendatang, tambah Staunovo.
Faktor lain yang mendukung kenaikan harga minyak adalah kemungkinan perpanjangan pemotongan produksi oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya saat OPEC+ bertemu pada hari Kamis.
Kelompok ini kemungkinan akan memperpanjang pemotongan pasokan hingga akhir kuartal pertama tahun depan, menurut empat sumber OPEC+ kepada Reuters.
OPEC+, yang menyumbang sekitar setengah produksi minyak dunia, telah mempertimbangkan untuk secara bertahap menghapus pemotongan pasokan sepanjang tahun depan. Namun, prospek surplus pasar telah menekan harga minyak, dengan Brent diperdagangkan hampir 6% di bawah rata-rata Desember 2023.
Perpanjangan pemotongan pasokan OPEC+ akan membatasi surplus pasar dan memberikan "pendaratan yang lebih lembut" bagi pasar minyak dibandingkan sebagian besar perkiraan, kata Scott Shelton, analis energi di TP ICAP, dalam sebuah catatan kepada klien.
"Dengan meningkatnya kepatuhan terhadap pemotongan produksi dari Rusia, Kazakhstan, dan Irak, level harga Brent yang lebih rendah, serta indikasi dalam laporan pers, kami mengasumsikan perpanjangan pemotongan produksi OPEC+ hingga April," tulis analis Goldman Sachs dalam catatan mereka.
Prospek permintaan minyak global tetap lemah, dan impor minyak mentah China kemungkinan akan mencapai puncaknya paling cepat tahun depan karena permintaan bahan bakar transportasi mulai menurun, kata para peneliti dan analis.
Persediaan minyak mentah AS naik 1,2 juta barel dalam pekan yang berakhir 29 November, menurut sumber pasar yang mengutip data dari American Petroleum Institute (API). Stok bahan bakar juga meningkat, kata mereka. Peningkatan persediaan biasanya menunjukkan permintaan yang lemah.
Data resmi tentang persediaan minyak dari Administrasi Informasi Energi AS akan dirilis pada hari Rabu pukul 10:30 pagi ET (1530 GMT). Analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan penurunan 700.000 barel dalam stok minyak mentah.
"Minyak tidak akan mengalami kekurangan pasokan tahun depan," kata Francisco Blanch, kepala komoditas global di BofA Securities kepada wartawan. "Tingkat pertumbuhan permintaan akan melambat pada 2025, dan kita tidak bisa mengandalkan China untuk menyumbang setengah dari permintaan minyak global," katanya. "(Harga minyak) akan sedikit turun," tambahnya.
(ras/ras)
Saksikan video di bawah ini:
Video: IHSG Gagal Reli Hingga Harga Emas & Minyak Anjlok
Next Article Harga Minyak Mulai Nanjak Pelan-Pelan, Akankah Berlanjut?