Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks harga konsumen (IHK) mengalami kenaikan inflasi pada November 2024 sebesar 0,30% (mtm) atau sebesar 1,55% (yoy).
Inflasi ini didorong oleh komoditas bawang merah, tomat hingga emas perhiasan, daging ayam ras, minyak goreng, bawang putih hingga tarif angkutan udara menjadi penyumbang inflasi. Indonesia baru mengalami inflasi dalam dua bulan beruntun, Oktober dan November 2024. Lima bulan sebelumnya, IHK Indonesia selalu mencatatkan deflasi.
Pembalikan posisi IHK dari deflasi ke inflasi ini ternyata belum cukup kuat mengambarkan bahwa daya beli masyarakat telah membaik.
Menilik catatan deflasi hingga inflasi yang mulai terjadi di Oktober-November 2024 ini, Senior Economist Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal justru melihat adanya tren perlambatan permintaan. Pasalnya, inflasi secara keseluruhan tahun justru turun ke level 1,55% dibandingkan sebelumnya 1,80%.
"Ini menggambarkan demand kita sedang sluggish ya," ungkapnya dalam Profit, CNBC Indonesia, dikutip Rabu (2/12/2024).
Fithra menambahkan, jika melihat posisi core inflation atau inflasi inti memang ada peningkatan, tetapi trajectory atau lintasan peningkatannya berkorelasi positif dengan kenaikan harga emas. Namun, inflasi emas tidak menunjukkan perbaikan demand atau permintaan.
"Emas itu kemudian dijadikan komponen komoditas untuk menghindari risiko di jangka pendek, orang ketika melihat risiko mereka akan pindah ke instrumen yang karakter tenornya jangka menegah panjang atau menjanjikan ketahanan di jangka pendek sehingga mereka pindah ke emas," ujarnya.
"Jadi saya melihat ini bukan demand yang meningkat tetapi risiko yang meningkat," ungkapnya.
Jika dilihat dari inflasinya, maka bisa ditegaskan bahwa ini bukan perbaikan permintaan, alih-alih justru semakin turun. Fithra pun khawatir pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali sulit mencapai 5% pada akhir kuartal IV-2024.
Tanda-tanda ini juga tampak di Purchasing Manufacturing Index (PMI) yang sudah mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun atau berada di bawah level 50.
"Jika ada kontraksi di Industri akibatnya ini akan terefleksi di demand dan permintaan tenaga kerja melambat," ungkapnya. Hal ini, menurut Fithra, cukup mengkhawatirkan.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini: