Kesabaran Tetangga RI Habis, Jatuhkan Larangan Ini ke Negara Maju

20 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Thailand telah secara resmi melarang impor limbah plastik pada bulan ini. Hal ini terjadi saat sejumlah negara maju mengekspor limbah, yang seringkali berbahaya, ke Negeri Gajah Putih.

Mengutip The Guardian, Rabu (8/1/2025), Undang-undang yang melarang impor limbah plastik ini berlaku setelah bertahun-tahun dikampanyekan oleh para aktivis. Diketahui, Thailand adalah salah satu dari beberapa negara Asia Tenggara yang secara historis telah dibayar untuk menerima limbah plastik dari negara-negara maju.

Negara ini menjadi tujuan utama ekspor limbah plastik dari Eropa, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Jepang pada tahun 2018 setelah China, pasar limbah rumah tangga terbesar di dunia, memberlakukan larangan. Secara statistik Jepang adalah pengekspor sampah plastik terbesar ke Thailand, dengan sekitar 50 juta kg yang diekspor pada 2023.

"Larangan terhadap semua impor sampah plastik harus dilihat sebagai kemenangan bagi masyarakat sipil dalam mencegah masuknya limbah berbahaya ke Thailand," ujar direktur LSM Ecological Alert and Recovery, Penchom Sae Tang.

Impor plastik sering kali salah urus di Thailand. Banyak pabrik dilaporkan justru membakar sampah daripada mendaur ulangnya, di mana hal ini menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia dan lingkungan.

"Setelah undang-undang tersebut berlaku, pemerintah Thailand harus bekerja untuk memastikan penegakan dan implementasinya. Ini berarti badan-badan industri, lingkungan, dan bea cukai harus bekerja sama untuk mencegah impor limbah plastik ilegal," timpal peneliti kampanye plastik di Environmental Justice Foundation, Punyathorn Jeungsmarn.

Larangan ini sendiri mulai berlaku saat diskusi terus berlanjut dalam upaya untuk menyelamatkan perjanjian limbah plastik global. Tahun lalu negara-negara gagal menyetujui kata-kata terakhir perjanjian tersebut setelah pembicaraan di Busan, Korea Selatan (Korsel).

Kegagalan konsensus sampah plastik ini terjadi setelah negara-negara penghasil minyak termasuk Arab Saudi, Iran, dan Rusia, menggagalkan kesepakatan itu. Mereka khawatir bahwa hal ini akan memotong konsumsi minyak global.

Direktur Revolution Plastics Institute di University of Portsmouth, Prof Steve Fletcher, mengatakan kegagalan untuk menyetujui perjanjian untuk mengakhiri polusi plastik merupakan ancaman bagi kesehatan manusia.

"Polusi plastik kini diakui tidak hanya sebagai krisis lingkungan tetapi juga krisis kesehatan manusia yang kritis. Perlunya tindakan internasional yang tegas untuk mengatasi polusi plastik tidak pernah lebih mendesak," katanya.

Dalam sebuah artikel di British Medical Journal, Fletcher mengatakan ketidaksepakatan yang belum terselesaikan pada pembicaraan perjanjian mengenai pemotongan produksi menghambat kemajuan menuju kesepakatan global untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

"Penelitian yang muncul menunjukkan bahwa ada risiko kesehatan yang substansial dari paparan mikroplastik, termasuk peningkatan risiko stroke, serangan jantung, dan kematian. Beberapa penelitian menunjukkan mikroplastik berperan dalam demensia," tambahnya.

"Pembakaran plastik sebagai metode pengelolaan limbah menimbulkan risiko kesehatan yang parah, yang diperparah oleh perdagangan limbah plastik."


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Kemeriahan Pesta Kembang Api di Thailand & Malaysia

Next Article Thailand di Ambang Krisis, Ada Apa?

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|