Lengkap! Keputusan BI Tahan Suku Bunga Acuan 6%

1 month ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan gubernur Bank Indonesia kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate pada November 2024 di level 6%. Demikian juga untuk suku bunga deposit facility sebesar 5,25% dan suku bunga lending facility sebesar 6,75%.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, keputusan ini ditempuh sebagai upaya BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global, seusai kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Selain itu, kebijakan moneter ini ia pastikan juga konsisten untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.

"Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global dengan perkembangan politik di Amerika Serikat," kata Perry saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Perry menjelaskan, keputusan BI Rate yang kembali ditahan ini mempertimbangkan risiko perekonomian global yang semakin tinggi disertai dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan, seusai Trump kembali menduduki kekuasaan tertinggi di AS.

Perkembangan politik di AS ia perkirakan akan diikuti dengan arah kebijakan fiskal lebih ekspansif dan strategi ekonomi berorientasi domestik (inward looking policy), termasuk penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat.

Perkembangan ini akan berdampak pada risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi dan kembali meningkatnya inflasi dunia. Menyebabkan proses penurunan inflasi akan berjalan lebih lambat sehingga penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) juga akan lebih terbatas.

"Dampaknya terjadi kecenderungan perlambatan ekonomi dunia dari 3,2% menjadi 3,1% dan ini terjadi khususnya di negara-negara yang nanti akan terkena tarif oleh AS termasuk Tiongkok maupun Uni Eropa dan Inggris," ucap Perry.

Sementara itu, kebutuhan pembiayaan defisit fiskal yang lebih besar mendorong kembali meningkatnya yield US Treasury baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang.

Perubahan politik di AS tersebut menurut Perry juga telah berdampak pada menguatnya mata uang dolar AS secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS. Akibatnya, tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia semakin tinggi dan terjadi aliran keluar portofolio asing, termasuk dari negara Emerging Market (EM).

"Penguatan respons kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburuknya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia," tegasnya.

Adapun pertimbangan dari dalam negeri, ia katakan masih terkait terjaganya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Ditopang oleh konsumsi rumah tangga, khususnya kelas menengah ke atas, dan investasi seiring berlanjutnya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Ekspor nonmigas meningkat sejalan dengan permintaan mitra dagang utama yang tumbuh positif.

"Secara keseluruhan tahun, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2024 berada dalam kisaran 4,7-5,5% dan akan meningkat pada 2025," ucapnya.

Tekanan inflasi pun ia pastikan juga masih akan terus terkendali, dalam sasaran 2,5±1%. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan i atekankan juga masih akan dalam kisaran rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB. Mendukung sehatnya neraca pembayaran hingga 2025, didukung aliran modal asing masuk yang masih akan terjadi.

Sementara itu, untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Perry akui telah mengalami pelemahan beberapa hari terakhir. Hingga 19 November 2024, kurs rupiah ia katakan telah melemah sebesar 0,84% (point to point/ptp) dari bulan sebelumnya.

"Pelemahan nilai tukar tersebut diakibatkan oleh menguatnya mata uang dolar AS secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS pasca hasil pemilihan umum di AS," tegas Perry.

Meski begitu, ia mengklaim pelemahan nilai tukar Rupiah tetap terkendali, yang bila dibandingkan dengan level akhir Desember 2023 tercatat depresiasi sebesar 2,74%, lebih kecil dibandingkan dengan pelemahan Dolar Taiwan, Peso Filipina, dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi sebesar 5,26%, 5,83%, dan 7,53%.

"Ke depan, nilai tukar Rupiah diperkirakan stabil didukung komitmen Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik," ucap Perry.

Perry memastikan, seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI, untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung penguatan nilai tukar Rupiah.

Meski arah kebijakan moneter saat ini difokuskan untuk menjaga stabilitas rupiah, Perry memastikan, BI juga akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan atau policy mixnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, seperti melalui kebijakan makroprudensial.

Arah bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tersebut didukung dengan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:

1. Penguatan strategi operasi moneter pro-market untuk menarik berlanjutnya aliran masuk modal asing guna memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah dan efektivitas transmisi kebijakan moneter dengan:

- mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter pro market;

- memperkuat struktur suku bunga instrumen moneter untuk menarik aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik;

- memperkuat strategi transaksi term-repo dan swap valas yang kompetitif; dan

- memperkuat peran Primary Dealer (PD) untuk meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar;

2. Penguatan strategi stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;

3. Penguatan publikasi asesmen transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit berdasarkan sektor prioritas yang menjadi cakupan KLM;

4. Perpanjangan kebijakan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan kebijakan Kartu Kredit (KK) sampai dengan 30 Juni 2025 meliputi:

- Tarif SKNBI sebesar Rp1 dari BI ke bank dan tarif SKNBI maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah; dan

- Kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang KK 5% dari total tagihan dan kebijakan nilai denda keterlambatan sebesar maksimum 1% dari total tagihan serta tidak melebihi Rp100.000; dan

5. Penguatan literasi dan edukasi pengguna dan merchant QRIS khususnya pada wilayah-wilayah destinasi utama pariwisata guna memperkuat akseptasi QRIS Antarnegara.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG & Rupiah Kompak Menguat

Next Article BI: Rupiah Sebetulnya Bisa Lebih Rendah dari Rp16.000/US$

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|