Jakarta, CNBC Indonesia - Wilayah utara Suriah kembali memanas setelah serangan mendadak oleh pemberontak yang dipimpin oleh kelompok Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS), berhasil merebut kota strategis Aleppo. Serangan ini mengguncang rezim Bashar al-Assad yang telah lama bergantung pada dukungan Rusia dan Iran untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam upaya mempertahankan kendali, pasukan Suriah yang didukung Rusia melancarkan serangan udara ke sejumlah wilayah yang dikuasai oposisi. Serangan di dekat stadion Aleppo dan sebuah rumah sakit menewaskan 12 orang, sementara di Idlib, serangan menewaskan empat orang dan melukai 54 lainnya.
Pemerintah Suriah mengeklaim serangan tersebut ditujukan ke pusat komando musuh, tetapi kelompok White Helmets melaporkan dampak besar pada warga sipil.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, tiba di Damaskus untuk menunjukkan dukungan penuh Teheran kepada Assad. Dalam pertemuan dengan Assad, Araghchi menyatakan bahwa pemberontakan ini akan diatasi dengan bantuan sekutu.
"Menghadapi pemberontakan ini tidak hanya penting bagi Suriah, tetapi juga untuk stabilitas kawasan," kata Assad dalam pernyataannya, dilansir The Guardian, Senin (2/12/2024).
Situasi ini memicu reaksi diplomatik dari berbagai pihak.
Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi, menyuarakan keprihatinan dan menyerukan resolusi politik. Sementara itu, pejabat Turki dan AS terus memantau situasi, dengan Washington menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam serangan ini, meskipun menuding ketergantungan Assad pada Iran dan Rusia sebagai penyebab ketidakstabilan.
Kehilangan Aleppo menyoroti tantangan besar yang dihadapi pasukan Assad, yang tampaknya kesulitan merespons serangan sementara sekutunya, Rusia, yang terfokus pada perang di Ukraina. Adapun pemberontak yang didukung Turki dan kelompok milisi Kurdi telah bergerak untuk menguasai wilayah yang ditinggalkan pasukan Assad.
Video dari pangkalan udara Kuweires menunjukkan pemberontak mengambil alih pangkalan, termasuk drone buatan Iran.
Respons PBB
Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, memperingatkan bahwa konflik ini tidak dapat diselesaikan secara militer.
"Hanya pengelolaan konflik, tanpa resolusi, yang akan memperburuk risiko eskalasi di Suriah," katanya.
Situasi ini mencerminkan bagaimana konflik Suriah tetap menjadi titik panas geopolitik, dengan berbagai aktor regional dan internasional terlibat dalam upaya untuk mempertahankan atau merombak keseimbangan kekuatan.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Israel Gempur Ibu Kota Suriah, Targetkan Aset-Aset Hizbullah
Next Article Video: Drone Israel Hancurkan Gudang Senjata Pangkalan Udara Rusia