Jakarta, CNBC Indonesia - Di bawah kepemimpinan Putra Mahkota sekaligus Perdana Menteri (PM) Mohammed Bin Salman (MBS), Arab Saudi tengah gencar melakukan pembangunan besar-besaran. Beberapa megaproyek 'gila' sang putra raja seakan tiada habisnya.
Salah satunya NEOM, megaproyek kota masa depan Arab Saudi yang akan menyulap padang pasir yang tandus menjadi kota metropolitan yang megah. Proyek ini dikabarkan akan dibangun dengan luar 26.500 km persegi yang sejajar dengan Laut Merah dan Teluk Aqaba.
Ada pula megaproyek Qiddya, Al Ula, Resort Mewah Amaala, Resor Pulau Sheybarah, Gerbang Diriyah, Coral Bloom, hingga Mukaab. Rata-rata proyek tersebut merupakan pembangunan gedung-gedung pencakar langit.
Namun, proyek-proyek besar MBS tersebut disebut PBB dapat menyebabkan degradasi dan penggurunan sebagian besar lahan di negara Timur Tengah tersebut. Hal ini dapat mempercepat 'kiamat' di sana.
Degradasi lahan mengganggu ekosistem dan membuat lahan kurang produktif untuk pertanian, yang menyebabkan kekurangan pangan dan memacu migrasi.
Lahan dianggap terdegradasi ketika produktivitasnya telah dirusak oleh aktivitas manusia seperti polusi atau penggundulan hutan. Penggurunan adalah bentuk degradasi yang ekstrem.
"Dalam perang melawan penggurunan, (Arab Saudi) tidak serta-merta berkontribusi secara langsung terhadap masalah tersebut, sedangkan dalam perubahan iklim, jelas berkontribusi," kata Patrick Galey, penyelidik senior bahan bakar fosil untuk Global Witness, seperti dikutip The Arab Weekly, Selasa (3/12/2024).
"Arab Saudi dapat, dengan beberapa legitimasi, mengklaim bahwa mereka membela orang-orang kecil dalam hal penggurunan, karena mereka secara langsung terkena dampaknya."
Menjelang konferensi PBB COP16 tentang degradasi lahan dan penggurunan di Arab Saudi, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga telah menyebut pertemuan untuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD) sebagai "momen yang sangat penting" untuk melindungi dan memulihkan lahan dan menanggapi kekeringan.
Sementara Sekretaris eksekutif UNCCD Ibrahim Thiaw mengatakan berharap COP16 akan menghasilkan kesepakatan untuk mempercepat pemulihan lahan dan mengembangkan pendekatan "proaktif" terhadap kekeringan.
"Kita telah kehilangan 40 persen lahan dan tanah kita," kata Thiaw. "Keamanan global benar-benar dipertaruhkan, dan Anda melihatnya di seluruh dunia. Tidak hanya di Afrika, tidak hanya di Timur Tengah."
Pertemuan terakhir para pihak dalam konvensi, di Ivory Coast pada tahun 2022, menghasilkan komitmen untuk "mempercepat pemulihan satu miliar hektar lahan terdegradasi pada tahun 2030".
Namun, UNCCD, yang menyatukan 196 negara dan Uni Eropa, sekarang mengatakan 1,5 miliar hektar harus dipulihkan pada akhir dekade ini untuk memerangi krisis termasuk kekeringan yang meningkat.
Wakil Menteri Lingkungan Arab Saudi, Osama Faqeeha, mengatakan negaranya bermaksud untuk memulihkan 40 juta hektar lahan terdegradasi, tanpa menyebutkan batas waktunya. Ia mengatakan Riyadh mengantisipasi pemulihan "beberapa juta hektar lahan" pada tahun 2030.
Sejauh ini, 240.000 hektar telah dipulihkan menggunakan berbagai langkah termasuk melarang penebangan liar dan memperluas jumlah taman nasional dari 19 pada tahun 2016 menjadi lebih dari 500.
Cara lain untuk memulihkan lahan termasuk menanam pohon, rotasi tanaman, mengelola penggembalaan, dan memulihkan lahan basah.
Perundingan iklim COP29 sendiri telah menghasilkan kesepakatan pendanaan iklim senilai US$300 miliar yang diperoleh dengan susah payah untuk utamanya membantu negara-negara miskin yang paling berisiko mengalami bencana lebih buruk.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Bedah Pemain Timnas Indonesia Vs Arab Saudi, Siapa Unggul?
Next Article Ini Janji Trump untuk Arab Saudi jika Terpilih Lagi Jadi Presiden AS