PPN 12% Bisa Ditunda Tanpa Ubah UU, Bola Kini di Tangan Prabowo

2 months ago 19

Jakarta, CNBC Indonesia-Keputusan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% kini ada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memastikan tidak perlu ada perubahan Undang-undang.

"Undang-undang pajaknya enggak perlu dirubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah," kata Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikutip, Jumat (22/12/2024)

Diketahui, kebijakan kenaikan PPN tertera pada pasal 7 Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam pembahasan RAPBN 2025 sebelumnya, Komisi XI sudah mempertanyakan rencana implementasi PPN 12%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu berpandangan, keputusan PPn harus menunggu pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden.

Berganti pemerintah, menurut Dolfie belum ada tanda-tanda perubahan aturan. Sementara tambahan penerimaan dari kenaikan PPN sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Karena kalau itu diturunkan menjadi 11% aja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp50 triliunan kira-kira," jelasnya.

Fauzi Amro, Wakil Ketua Komisi XI tidak menutup mata atas protes publik mengenai pemberlakuan PPN 12% pada 2025 mendatang. Apabila tetap diberlakukan pada 2025 maka diharapkan sektor yang berhubungan publik tetap tidak dikenakan.

"Cuma catatannya yang berhubungan dengan publik nggak boleh dinaikan. Tadi saya sampaikan apa itu Kesehatan, pendidikan, sembako transportasi. Ini berhubungan dengan publik langsung dan masyarakat langsung," ungkap Fauzi.

Berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam Seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi.

"Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Dalam kajian LPEM FEB UI, Teuku menyebutkan beban saat tarif PPN masih sebesar 10% pada periode 2020-2021, rumah tangga kaya atau 20% terkaya menanggung 5,10% dari pengeluaran, sementara rumah tangga miskin atau 20% masyarakat termiskin menanggung 4,15% dari pengeluarannya.

Setelah kenaikan tarif PPN 11% di 2022-2023, rumah tangga kaya memikul 5,64% dari pengeluaran untuk PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya 4,79% dari pengeluarannya.


(mij/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Jika Naik Ke 12%, Tarif PPN RI Jadi Yang Tertinggi di ASEAN

Next Article Pemerintah Jokowi Simulasi Kenaikan PPN 12%, Jadi Berlaku 2025?

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|