Jakarta, CNBC Indonesia - China mengatakan bahwa populasinya turun untuk tahun ketiga berturut-turut pada tahun 2024. Hal ini terungkap dari laporan Biro Statistik Nasional Beijing, Jumat (17/1/2025).
Dalam laporannya, terdapat penurunan hingga 2 juta orang di dalam populasi karena angka kelahiran yang tidak dapat mengejar angka kematian. Hal ini melanjutkan tren penurunan setelah lebih dari enam dekade pertumbuhan.
"Populasi mencapai 1,408 miliar pada akhir tahun 2024, turun dari 1,410 miliar pada tahun 2023," ujar laporan resmi itu dikutip AFP.
Sebelumnya, di tahun 2023, populasi Negeri Panda itu turun hingga 2,8 juta orang. Jumlah tersebut lebih besar dari penurunan populasi sekitar 850.000 pada tahun 2022, tahun pertama jumlah kematian melebihi jumlah kelahiran di negara tersebut sejak awal tahun 1960an.
Kepala risiko negara Asia di perusahaan analisi BMI, Darren Tay, memaparkan bahwa bila tren ini berlanjut, hal ini akan menjadi ancaman bagi jumlah angkatan kerja China. Bahkan, China menghadapi hambatan dalam pertumbuhan PDB per tahun selama 10 tahun ke depan.
"Populasi usia kerja (di China) akan turun begitu cepat dalam dekade berikutnya, sehingga perekonomian China harus menghadapi hambatan sebesar 1% dalam pertumbuhan PDB per tahun selama 10 tahun ke depan," ujarnya kepada CNBC International.
Hal yang sama juga disuarakan oleh Economist Intelligence Unit (EIU). EIU menyebutkan populasi China diperkirakan akan menyusut menjadi 1,317 miliar pada tahun 2050, dan turun hampir setengahnya menjadi 732 juta pada tahun 2100.
"Tingkat kesuburan di negara ini menurun lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan seperti Korea Selatan dan Jepang," kata ekonom senior EIU, Tianchen Xu.
Selain rendahnya angka kelahiran, EIU menyebut China juga dapat mengalami lonjakan beban fiskal lantaran penduduk yang memasuki usia penuaan. Beban akan muncul dari lansia dan pensiunan yang memerlukan insentif dalam kebutuhan hidup.
"Pertumbuhan ekonomi bergantung pada produktivitas, akumulasi modal, dan masukan tenaga kerja. Dampak negatif dari lanskap demografi yang buruk akan terlihat terutama melalui menyusutnya angkatan kerja," menurut laporan yang diterbitkan lembaga itu pada bulan Januari tahun lalu.
"Perhitungan kami menunjukkan bahwa jika usia pensiun dinaikkan menjadi 65 tahun pada tahun 2035, kekurangan anggaran pensiun dapat dikurangi sebesar 20% dan pensiun bersih yang diterima dapat ditingkatkan sebesar 30%, yang berarti meringankan beban pemerintah dan rumah tangga," tambahnya.
Xu dari EIU menambahkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah mahalnya harga properti, yang menyebabkan sebagian orang enggan untuk memiliki keluarga.
"Pemerintah sebagian besar tidak mampu mengelola kenaikan biaya perumahan yang signifikan," pungkasnya.
Di sisi lain, Tay dari BMI mengatakan kenaikan biaya untuk mengurus anak juga menjadi momok bagi keluarga China untuk memiliki anak. Ia menyebut semakin maju sebuah negara maka biaya untuk membesarkan anak memang semakin mahal
"Di masyarakat yang lebih maju, kecenderungannya adalah orang tua menanggung biaya yang jauh lebih tinggi untuk membesarkan anak, dan hal ini cenderung menjadi penghalang untuk memiliki anak," katanya.
"Semakin maju suatu perekonomian, semakin banyak pula keterampilan yang harus dimiliki oleh para pelaku perekonomian, dan dengan demikian, investasi yang diperlukan untuk setiap (anak) akan meningkat sebesar jumlah tersebut," jelasnya.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video : Melebihi Ekspektasi, Ekspor China Melesat 10,7%
Next Article Rusia Mau Perang Lawan Resesi Seks, Bawa-Bawa Ayat Alkitab