Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup merana pada perdagangan Kamis (21/11/2024), di tengah sikap investor yang masih mencerna keputusan Bank Indonesia (BI) yang kembali menahan suku bunga acuannya kemarin.
IHSG ditutup melemah 0,55% ke posisi 7.140,91. IHSG sempat kembali menyentuh level psikologis 7.200 di sesi I hari ini. Namun di sesi II hingga akhir perdagangan hari ini, IHSG kembali berada di level psikologis 7.100.
Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitar Rp 9,7 triliun dengan melibatkan 16,9 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 231 saham naik, 316 saham turun, dan 244 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor konsumer primer menjadi penekan terbesar IHSG pada akhir perdagangan hari ini yakni mencapai 0,92%.
Sementara dari sisi saham, emiten perbankan raksasa mendominasi penekan IHSG yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencapai 14,7 indeks poin, kemudian PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) sebesar 11,6 indeks poin, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebesar 6,7 indeks poin.
IHSG kembali merana setelah sempat bergairah di sepanjang sesi I hari ini. Bahkan, IHSG sempat kembali ke level psikologis 7.200 di sesi I. Sayangnya di sesi II, penguatan IHSG mulai terpangkas dan pada akhirnya kembali ditutup di zona merah.
Koreksinya IHSG pada hari ini terjadi di tengah sikap investor yang masih mencerna keputusan Bank Indonesia (BI) yang kembali menahan suku bunga acuannya kemarin.
Sebelumnya kemarin, BI memutuskan untuk kembali menahan suku bunga acuannya atau BI Rate di level 6%.
Untuk diketahui, BI Rate pada Oktober 2024 juga berada di level 6%. BI Rate pada level 6% ini telah terjadi sebanyak tiga kali, yakni September, Oktober, dan November 2024. Sedangkan pada periode Agustus 2024, BI Rate masih berada di angka 6,25%.
Rupiah yang tengah berada dalam tren pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi fokus dalam pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 19-20 November 2024.
Dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI melakukan penguatan strategi operasi moneter. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut pihaknya akan promarket untuk menarik aliran modal asing.
"Penguatan strategi operasi moneter promarket untuk tarik berlanjutnya aliran portofolio asing untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dan efektivitas transmisi kebijakan moneter dengan mengoptimalkan SRBI SVBI dan SUVBI," terang Perry dalam konferensi pers, Rabu (20/11/2024).
"Kita memperkuat strategi transaksi term repo dan swap valas yang kompetitif dan memperkuat peran primary dealer untuk memperkuat transaksi SBN dan Repo di pasar sekunder serta antar pelaku pasar," jelasnya.
Sebelumnya, konsensus CNBC Indonesia, yang melibatkan 17 lembaga atau institusi, menunjukkan mayoritas memprediksi bahwa BI akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 5,75%. Namun, delapan lembaga lainnya memproyeksikan bahwa BI akan mempertahankan suku bunga pada level 6%.
Perry Warjiyo juga menyampaikan optimisme terhadap perekonomian nasional, yang diperkirakan tetap tumbuh signifikan hingga akhir tahun.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan realisasi kuartal III-2024 yang mencapai 4,95% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Di lain sisi, BI hari ini melaporkan neraca transaksi berjalan defisit sebesar US$ 2,2 miliar atau 0,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal III-2024.
Berdasarkan siaran pers BI, dikutip Kamis hari ini, realisasi ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit sebesar US$ 3,2 miliar atau 0,9% dari PDB pada kuartal II 2024.
Dalam penjelasannya, kinerja neraca transaksi berjalan ditopang oleh surplus neraca perdagangan barang nonmigas yang berlanjut, didukung oleh pertumbuhan ekspor nonmigas seiring dengan kenaikan harga komoditas, di tengah impor yang tumbuh lebih tinggi sejalan meningkatnya aktivitas ekonomi domestik.
Defisit neraca jasa menyempit didorong oleh meningkatnya surplus jasa perjalanan seiring naiknya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.
Sementara itu defisit neraca pendapatan primer juga menurun dipengaruhi oleh lebih rendahnya pembayaran imbal hasil investasi kepada investor nonresiden. Selain itu, peningkatan surplus neraca pendapatan sekunder yang didorong oleh penerimaan remitansi turut mendukung kinerja neraca transaksi berjalan.
BI juga melaporkan neraca transaksi modal dan finansial mencatat surplus sebesar US$ 6,6 miliar pada kuartal III 2024, meningkat dibandingkan dengan surplus sebesar US$ 3,0 miliar pada kuartal sebelumnya.
Dengan demikian Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III 2024 mencatat surplus sebesar 5,9 miliar dolar AS, dari sebelumnya defisit sebesar 0,6 miliar dolar AS pada triwulan II 2024.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini: