Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan 5 hal yang menjadi fokus perhatiannya merespons kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Fokus ini ia curahkan karena saat Trump memenangkan Pilpres AS 2024 telah membuat nilai tukar rupiah terkapar akibat kuatnya indeks dolar terhadap mata uang utama atau DXY, dan aliran modal asing keluar deras dari Indonesia.
"Perubahan politik di AS tersebut telah berdampak pada menguatnya mata uang dolar AS secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS," kata Perry saat konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Ia mengatakan, aliran modal keluar investasi portofolio pada hingga 18 November 2024 tercatat net outflows sebesar US$ 1,9 miliar dolar AS, berbalik arah setelah pada Oktober 2024 tercatat net inflows sebesar US$ 1,1 miliar.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah hingga 19 November 2024 ia katakan telah melemah sebesar 0,84% (point to point/ptp) dari bulan sebelumnya.
"Pelemahan nilai tukar tersebut diakibatkan oleh menguatnya mata uang dolar AS secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS pasca hasil pemilihan umum di AS," ungkap Perry.
Oleh sebab itu, ia mengatakan, kepemimpinan Trump di AS ke depan harus diantisipasi dalam aspek 5 hal yang berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi di Indonesia.
Aspek pertama, ia katakan terkait dengan kebijakan ekonomi dan politik Trump, berdasarkan rekam jejak masa kepemimpinannya sebagai Presiden AS ke 45 pada periode 2017-2021, yang lebih terkait fiskal ekspansif dan strategi ekonomi berorientasi domestik (inward looking policy), termasuk penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat.
Pada aspek ini, Perry mengatakan, Trump cenderung akan kembali merealisasikan kebijakannya untuk menerapkan tarif perdagangan yang tinggi kepada negara-negara mitra dagang yang mencatatkan surplus perdagangan besar dengan AS.
"Negara-negara mana saja itu? China, Uni Eropa, Meksiko, dan sejumlah negara lain termasuk yang kelima adalah Vietnam. Nah tarif perdagangan yang tinggi kemungkinan akan diterapkan pada Semester II-2025," ucap Perry.
Perry menganggap, Trump akan menerapkan tarif perdagangan sebesar 25% kepada Uni Eropa untuk produk besi, alumunium, hingga motor vehicle. Sementara itu, dengan China sebesar 25% untuk mesin, elektronik, dan produk kimia atau chemical.
"Ini yang kami baca. Tentu kami terus diskusikan juga tapi pengenaan tarif tinggi ini yang kami sebut fragmentasi perdagangan ini yang kemudian akan sebabkan perlambatan ekonomi di negara-negara tadi. China yang selama ini melambat kemungkinan juga akan terus lambat, dan EU yang sedang akan naik gak jadi naik," ucap Perry.
Aspek pertama dari kebijakan Trump yang terus dicermati BI itu, kata Perry, sangat berisiko menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia menurun. Perry memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia yang seharusnya pada 2025 bisa naik dari lebih tinggi dari level 3,2% tahun ini berpotensi turun ke 3,1%.
Sementara itu, Trump ia katakan juga akan mengambil kebijakan ekonomi dan politik di negaranya sendiri dengan fokus mendorong pertumbuhan melalui pemangkasan pajak orang pribadi maupun perusahaan. Untuk pajak orang pribadi ia katakan berpotensi dipangkas ke level 3% dan korporasi flat di level 21%.
"Nah termasuk juga kebijakan yang imigrasi maupun geopolitik. Dan kepada ekonomi yang di dalam negeri kebijakan Presiden Trump itu adalah memberikan tax cut, personal tax cut, maupun corporate tax cut untuk dorong pertumbuhan ekonomi," ucap Perry.
Sorotan kedua, terkait dengan potensi inflasi di AS yang penurunannya akan lebih lambat, imbas dari fokus kebijakan Trump yang akan terus mendorong laju pertumbuhan ekonomi AS. Ia mengatakan, Inflasi AS akan turun melambat ke level sasaran bank sentralnya di sekitar 2% dari yang sekarang di kisaran 2,7%.
Kondisi itu berakibat pada semakin sempitnya Bank Sentral AS, yakni The Federal Reserve untuk mempercepat laju penurunan suku bunga kebijakannya atau Fed Fund Rate. Perry memperkirakan BI hanya akan memangkas suku bunga kebijakannya sebesar 25 basis points (bps) pada Desember 2024, dan pada 2025 hanya sebesar 50 bps dari perkiraan semula sebesar 75-100 bps.
"Perkiraan kami terkini kemungkinan FFR masih akan turun 25 bps di Desember. Tapi, untuk tahun depan yang kami perkirakan semula turun 75-100 bps perkiraan kami terkini hanya turun 50 bps, dua kali saja ke depan," ucap Perry.
Adapun sorotan ketiga terkait dengan potensi defisit fiskal pemerintahan AS yang akan semakin lebar ke depan di bawah pemerintahan AS. Menurut Perry, Trump akan membawa defisit APBN AS ke level 7,7% dari PDB nya, dari sebelumnya hanya bergerak di kisaran 6,5% PDB.
Sorotan ketiga ini, akan mempengaruhi permasalahan di aspek yang keempat, yakni tingginya imbal hasil surat utang pemerintah AS ke depan karena besarnya kebutuhan pembiayaan APBN. Permasalahan ini akan membuat aliran modal asing akan lebih banyak masuk ke AS ketimbang menyebar luas ke negara-negara ekonomi berkembang, seperti Indonesia.
Ia mengatakan, permasalahan keempat ini telah terlihat dari mulai terkerek naiknya tenor US Treasury (UST) Bill pemerintah AS untuk tenor 2 tahun dan 10 tahun beberapa hari terakhir. Padahal, sebelum Trump menang, trennya kata Perry yield atau imbal hasil UST tengah menurun.
"Prediksi kami UST yang sekarang note 2 tahun tempo hari pernah 3,7%-3,8% sekarang sudah 4,3% dan kemungkinan naik jadi 4,5% tahun depan. Yang 10 tahun tempo hari sudah turun, sekarang sudah naik ke 4,4%, dan tahun depan ke 4,7% karena memang kebijakan fiskal yang ekspansif utangnya pemerintah as akan lebih banyak," tegas Perry.
Seretnya aliran modal asing ke depan berdampak pada risiko kelima dari pemerintahan Trump, yaitu masuknya dolar AS ke dalam equilibrium atau keseimbangan baru. Perry mengatakan, hal ini tentu akan juga mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah ke depan masuk ke dalam level keseimbangan baru.
Menurut Perry, indeks dolar AS, yakni DXY sebelum Trump naik takhta sebetulnya tengah dalam tren penurunan dari level 103 ke level 101. Namun, setelah Trump menang Pilpres pada awal November 2024 membuat dolar AS ke level 106, bahkan telah bergerak ke posisi 106,5.
"Jadi menguat tajam pasca pemilu, dari sekarang 106 (DXY) bahkan saat ini lebih tinggi lagi ke 106,5. Ini proses mulai mengarah kepada keseimbangan barunya seperti apa itu yang dollar 106," tutur Perry.
Dengan berbagai hal ini, Perry mengakui ruang penurunan suku bunga acuan BI rate ke depan akan semakin terbatas meski masih ada dari yang saat ini bertengger di level 6%. Ia meminta seluruh masyarakat untuk bersabar menanti BI bisa terus memangkas suku bunga acuan ke depan.
"Dengan kondisi seperti ini ruangannya dulu agak lebar sekarang lebih terbatas. Jadi sabarnya, R-nya lebih banyak," ungkap Perry.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Lagi! Perry Warjiyo Tahan BI Rate Tetap di 6%
Next Article AS-Eropa Bakal Topang Ekonomi Global 2024, China Ambruk