Terbaru! Ini Aturan Pajak Hiburan 40%-75%, Panti Pijat Gak Kena

16 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa spa merupakan bagian dari layanan kesehatan tradisional, bukan hiburan seperti diskotek atau karaoke.

Keputusan ini ditetapkan setelah MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 pada minggu lalu (3/1/2025). Permohonan diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, Perkumpulan ASTI, PT Cantika Puspa Pesona, CV Bali Cantik, dan PT Keindahan Dalam Jiwa dan lainnya.

Dengan demikian, spa, tempat pijat atau panti pijat serta layanan wellness lainnya tidak dikenakan pajak hiburan sebesar 40-75%. Namun dalam putusan ini, MK memaknai mandi uap/spa dalam pasal a quo sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional.

"Oleh karenanya, frasa 'dan mandi uap/spa' dalam norma Pasal 55 ayat (1) huruf l UU 1/2022 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional'," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024 pada Jumat (3/1/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.

"Oleh karenanya, frasa 'dan mandi uap/spa' dalam norma Pasal 55 ayat (1) huruf l UU 1/2022 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional'," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024, dikutip Rabu (8/1/2024).

Menurut Mahkamah, pengklasifikasian mandi uap/spa dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar tidak memberikan jaminan kepastian hukum atas keberadaan mandi uap/spa sebagai jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut atas penggunaan layanan jasa kesehatan tradisional dimaksud.

"Dimasukkannya "mandi uap/spa" dalam kelompok diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar, menjadikan hal tersebut sebagai jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, katangkasan, rekreasi atau keramaian untuk dinikmati, yang tidak sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menyebabkan kerugian bagi para Pemohon berupa pengenaan stigma yang negatif," jelas Arief.

Arief mengatakan pelayanan kesehatan tradisional memiliki landasan hukum yang jelas dan konsisten baik melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pengaturan lebih lanjut yang tertuang dalam peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 dan PP Nomor 28 Tahun 2024.

Pelayanan ini diakui sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional dengan cakupan yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, hingga paliatif. Pengakuan ini menunjukkan pentingnya pelayanan kesehatan tradisional dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam konteks ini, layanan seperti mandi uap/spa yang memiliki manfaat kesehatan berbasis tradisi lokal sudah seharusnya dianggap sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional.

Arief menegaskan tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Spa, telah ditentukan spa termasuk dalam bagian pelayanan kesehatan yang dilakukan secara holistik dengan memadukan berbagai jenis perawatan kesehatan tradisional dan modern yang menggunakan air beserta pendukung perawatan lainnya berupa pijat penggunaan ramuan, terapi aroma, latihan fisik, terapi warna, terapi musik, dan makanan untuk memberikan efek terapi melalui panca indera guna mencapai keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa sehingga terwujud kondisi kesehatan yang optimal.

"Berkenaan dengan hal ini, pelayanan spa dimaksud dibagi menjadi dua, yaitu health spa dan wellness spa sebagai upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif serta medical spa sebagai upaya pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif," paparnya.

"Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah dalil yang berdasar. Namun oleh karena pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka dalil para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Arief.

Adapun ketetapan ini diputuskan MK setelah adanya permohonan uji materi dari pengusaha panti pijat dan spa. Seperti diketahui, berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HPPD) setelah dua tahun disahkan, menuai polemik. Polemik hadir dengan naiknya tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang ditetapkan paling rendah 40 - 75%. Salah satunya dengan mencantumkan spa sebagai bagian dari jasa hiburan hingga dikenai kenaikan PBJT tersebut.

Sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan Kesehatan mandi uap atau juga dikenal dengan spa menguji aturan PBJT dalam UU HPPD.

Tercatat 22 warga negara mengajukan permohonan pengujian Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HPPD ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kronologi Penetapan Pajak Hiburan

Adapun, RUU HKPD ini disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, tepatnya tanggal 17 Desember 2021.

UU HKPD ini mengatur ulang perekonomian daerah dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah berharap UU ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di setiap daerah. Pada perjalanannya, UU HKPD sempat mendapat penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Namun, jika melihat kronologi penetapan aturan mengenai pajak hiburan di dalam UU HKPD ini, ternyata PKS menjadi salah satu partai yang mendukung penerapan tarif pajak hiburan 40%-75%. Dari dokumen pemerintah yang diterima CNBC Indonesia, PKS mendukung kenaikan tarif paling tinggi 75%. Ini sejalan dengan UU No.28 tahun 2000 soal tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) maksimal 75%.

Dukungan PKS ini didasari oleh konsumen di sektor hiburan ini yang merupakan masyarakat menengah atas.

"Sebagai besar konsumen pada jasa tersebut adalah masyarakat menengah ke atas," ungkap dokumen tersebut. Selain PKS, ternyata Golkar dan PAN, juga mendukung aturan ini.

Partai berlambang pohon beringin ini mengungkapkan dukungan terhadap penerapan tarif PBJT khusus jasa hiburan agar tetap 75% atau paling tidak 40%. Golkar mengingatkan agar penetapan pajak hiburan mempertimbangkan masukan narasumber dan aspek socio-religi beberapa daerah.

Sementara itu, PAN menilai jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa merupakan kebutuhan yang lazimnya dinikmati oleh orang menengah atas.

"Khusus tarif PBJT dan jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%," ungkap dokumen pemerintah tersebut.

Patut diingat, rumusan tarif RUU HKPD adalah usulan pemerintah. Pada pasar 58 ayat 2, pemerintah mengusulkan tarif khusus PBJT untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa ditetapkan paling tinggi 40%. Besaran tarif ini sesuai dengan temuan penerapan Perda atasu UU PDRD, dimana rata-rata pajak hiburan yang dipungut hanya 40%.

Padahal, pasal 45 ayat 2 UU PDRD menetapkan khusus hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, panti pijat, mandi uap dan spa dapat ditetapkan pajak paling tinggi sebesar 75%.

Pasca pembahasan DPR, rumusan tarif pajak hiburan disepakati dalam Pasal 58 ayat 2, yakni: "Khusus tarif PBHT atas jasa hiburan, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%."


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video : Dirjen Pajak Bicara Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12%

Next Article Kemenkeu Ungkap Baru 10 Pemda Ajukan Insentif Pajak Hiburan

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|