Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak naik tipis pada awal perdagangan hari ini setelah intensifikasi konflik antara Rusia dan Ukraina selama akhir pekan, meskipun kekhawatiran tentang permintaan bahan bakar di Tiongkok, konsumen minyak terbesar kedua di dunia, serta perkiraan surplus minyak global, terus menekan pasar.
Berdasarkan data Refinitiv pada Senin (18/11/2024) pukul 10.00 WIB harga minyak mentah Brent tercatat US$71,24 per barel, naik 0,28% dari posisi sebelumnya. Sementara acuan West Texas Intermediate (WTI) naik tipis 0,12% ke US$67,10 per barel.
Dalam perubahan signifikan kebijakan Washington terkait konflik Rusia-Ukraina, pemerintahan Presiden Joe Biden mengizinkan Ukraina menggunakan senjata buatan AS untuk menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia, menurut dua pejabat AS dan satu sumber yang mengetahui keputusan tersebut, pada hari Minggu (17/11/2024).
Tidak ada tanggapan langsung dari Kremlin, yang sebelumnya memperingatkan bahwa pelonggaran batasan pada penggunaan senjata AS oleh Ukraina akan dianggap sebagai eskalasi besar.
"Biden yang mengizinkan Ukraina menyerang pasukan Rusia di sekitar Kursk dengan rudal jarak jauh bisa memicu kembali risiko geopolitik pada harga minyak, karena ini merupakan eskalasi ketegangan, terlebih dengan keterlibatan pasukan Korea Utara," kata Tony Sycamore, analis pasar dari IG Markets.
Rusia melancarkan serangan udara terbesar ke Ukraina dalam hampir tiga bulan pada hari Minggu, menyebabkan kerusakan besar pada sistem kelistrikan Ukraina.
Di Rusia, setidaknya tiga kilang minyak harus menghentikan pemrosesan atau mengurangi produksi karena kerugian besar akibat pembatasan ekspor, kenaikan harga minyak mentah, dan biaya pinjaman yang tinggi, menurut lima sumber industri.
Harga Brent dan WTI turun lebih dari 3% minggu lalu setelah data ekonomi lemah dari Tiongkok dan prediksi Badan Energi Internasional (IEA) bahwa pasokan minyak global akan melebihi permintaan lebih dari 1 juta barel per hari pada 2025, meskipun pemotongan produksi oleh OPEC+ tetap diberlakukan.
Pemrosesan kilang di Tiongkok turun 4,6% pada Oktober dibandingkan tahun lalu, sementara pertumbuhan output pabrik di negara tersebut melambat bulan lalu, menurut data pemerintah yang dirilis pada Jumat.
Investor juga cemas dengan kecepatan dan cakupan pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve AS yang menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global.
Di AS, jumlah rig minyak yang aktif turun satu menjadi 478 minggu lalu, jumlah terendah sejak pekan yang berakhir pada 19 Juli, menurut data dari Baker Hughes.
(ras/ras)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Perang Timur Tengah Bikin Harga Minyak Melonjak, APBN RI Aman?
Next Article Permintaan Bensin di AS Melonjak, Harga Minyak Tertinggi dalam 2 Bulan