Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan-perusahaan minyak besar mungkin akan melunakkan sikapnya terhadap regulasi perubahan iklim. Terpilihnya Donald Trump merupakan menjadi alasan utama, mengingat Amerika Serikat sempat menarik diri dari perjanjian iklim Paris tahun 2017 lalu kala masih menjabat sebagai Presiden AS ke-44. Namun, kala Biden terpilih jadi presiden AS empat tahun silam, dirinya memutuskan untuk kembali masuk ke organisasi tersebut.
Trump yang terpilih sebagai presiden Amerika Serikat telah berjanji untuk melakukan hal yang sama pada hari pertamanya menjabat. Hal ini menjadi mimpi buruk bagi para pejuang iklim. Sebelumnya aktivis iklim telah mendapatkan kabar buruk di mana Shell, perusahaan minyak raksasa Inggris, memenangkan kemenangan hukum penting minggu ini terkait emisi.
Mengutip The Economist, pada tahun 2021 lalu, pengadilan Belanda telah memerintahkan Shell untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 45% pada tahun 2030, sejalan dengan perjanjian Paris. Namun tanggal 12 November, Pengadilan Banding Den Haag membatalkan keputusan tersebut.
Meskipun demikian, mereka yang memperjuangkan aksi iklim juga menerima dorongan dari aliansi yang tidak terduga minggu ini yakni bos perusahaan minyak raksasa AS.
"Kami akan terus mengadvokasi dunia untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dunia harus melakukannya secara kolektif," kata Darren Woods, bos perusahaan minyak dan gas terbesar di Amerika Serikat ExxonMobil di Baku dalam konferensi iklim tahun terbesar di dunia.
Meskipun penilaian Belanda dan pernyataan Woods memberikan sinyal yang tampaknya bertentangan mengenai prospek aksi iklim, ada dua hal yang menghubungkan keduanya. Salah satunya adalah pengakuan yang semakin meningkat bahwa peraturan pemerintah, yang ramai dikritik oleh para pengusaha minyak, sangat penting di dunia dengan kondisi perubahan iklim yang kian memprihatinkan.
Pengadilan banding Belanda memperjelas bahwa tanggung jawab untuk merespons perubahan iklim paling utama menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan perusahaan. Namun, pengadilan tidak serta merta membebaskan perusahaan dari tanggung jawab. Shell, menurut pengadilan, memiliki kewajiban untuk membatasi emisi karbon dioksidanya.
Namun, tidak ada dasar ilmiah yang memadai bagi pengadilan untuk memaksakan target emisi pada perusahaan.
Woods juga tampaknya telah berubah pikiran tentang perlunya intervensi pemerintah terhadap kesinambungan kebijakan iklim.
Dalam sebuah wawancara dengan The Economist, Ia memperingatkan Trump agar tidak membatalkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi Amerika, sebuah undang-undang yang disahkan pada tahun 2022 yang mana menawarkan subsidi dan insentif pajak yang besar untuk teknologi bersih seperti hidrogen dan penangkapan karbon di mana ExxonMobil sekarang berinvestasi.
Dia juga memperingatkan Trump agar tidak meninggalkan perjanjian Paris. "Tidak ada manfaatnya bagi negara kita untuk keluar-masuk, keluar-masuk," ucapnya.
Benang merah kedua, lanjutnya, adalah perlunya pengukuran emisi yang lebih baik. Meskipun pengadilan Belanda mengakui upaya Shell dalam mengurangi emisi dari operasinya sendiri, pengadilan mencatat kesulitan dalam mengukur dan mengaitkan emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar yang dijualnya.
Sementara itu, ExxonMobil menginginkan adanya upaya global untuk menurunkan intensitas karbon dari produk-produknya, berdasarkan metrik yang terstandardisasi, yang saat ini masih kurang.
"Mari kita buat sistem penghitungan karbon global," kata Woods.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Nasib Perdagangan RI Usai Kemenangan Trump
Next Article OJK Minta Perbankan Waspada, Perubahan Iklim Bisa Picu Risiko Sistemik