Ekspor CPO RI Diramal Jatuh, Tapi Harga Bisa Meroket Lagi ke RM5.000

3 months ago 33

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) diprediksi berpeluang naik. Namun, ekspornya tahun ini diramal bisa turun sampai 10% dari tahun 2024.

Di sisi lain, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) merevisi naik prediksi ekspor minyak kedelainya tahun 2025 ini sebesar 1,6 miliar pon. Potensi kenaikan ini lebih besar 46% dari proyeksi kenaikan ekspor yang dirilis Desember 2024.

Mengutip situs resmi Malaysian Palm Oil Board (MPOB/ lembaga minyak sawit Malaysia), harga CPO per 16 Januari 2025 tercatat di RM4.617 per ton. Turun dari sehari sebelumnya yang ada di RM4.632,50 per ton. Dan merupakan terendah sejak awal tahun 2025.

Potensi kenaikan harga CPO itu ditopang pelaksanaan program mandatori bahan bakar nabati (BBN) biodiesel 40% (B40). B40 merupakan campuran bahan bakar nabati berbasis CPO atau sawit, yaitu Fatty Acid Methyl Esters (FAME). FAME 40%, dan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar 60%.

Sebagai informasi, program mandatori ini diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit sebesar 40%.

"Harga CPO tahun ini akan lebih ditentukan implememtasi B40 yang sudah dimulai Januari 2025. Jika benar-benar full speed, harga CPO masih akan naik," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (17/1/2025).

"Bulan November-Desember 2024 kemarin sempat mencapai RM50.00-an. Jika B40 benar-benar full speed dilaksanakan pada bulan Februari-Maret, pertengahan tahun bisa kembali menyentuh RM5.000an," tambahnya.

Karena itu, lanjut Tungkot, meski ekspor minyak kedelai diprediksi meningkat lebih tinggi tahun ini, tidak akan berdampak besar bagi harga CPO.

Sebab, jelasnya, kenaikan ekspor minyak kedelai AS ini merupakan dampak penurunan penggunaan minyak kedelai untuk biodiesel domestiknya. Ditambah, adanya kenaikan produksi minyak sawit kedelai AS di tahun 2024.

"Jika pemerintahan Donald Trump sudah operasional, penggunaan minyak kedelai untuk biodiesel domestik dan proyek SAF (Sustainable Aviation Fuel/ Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan) akan memerlukan banyak minyak kedelai di dalam negeri," ucapnya.

Efek Trump ke Harga CPO dan Minyak Kedelai

Dia menuturkan, sejak Indonesia masuk ke program mandatori B35 tahun lalu, harga CPO dunia sejak Januari 2024 mulai naik hingga Januari 2025.

"Kenaikan harga CPO menarik kenaikan harga minyak kedelai dunia dan mendorong produsen minyak kedelai memperluas dan meningkatkan pemeliharaaan tanaman kedelainya. Sehingga, produksinya meningkat. Akibatnya, produksi minyak kedelai AS meningkat," paparnya.

"Kembalinya Donald Trump jadi Presiden AS, ini membawa perubahan besar dan juga berdampak pada industri minyak nabati global," ujarnya.

Hal itu, jelas Tungkot, karena Trump sebagai pengusung prinsip "American First", akan memperkuat supremasi AS di setiap lini, termasuk industri minyak nabati dan energi terbarukan.

"Trump akan kembali meningkatkan penggunaan biodiesel berbasis minyak kedelai, dengan memasang tarif ekspor minyak kedelai, termasuk ke China. Impor tallow (lemak hewani) dari Brasil, impor bahan baku bioenergi dari China dan ASEAN, termasuk impor minyak nabati lain dan minyak sawit akan dibatasi. Bahkan bisa disetop," kata Tungkot.

Hal itu, imbuh dia, sejalan dengan ambisi AS yang ingin jadi produsen SAF terbesar di dunia, membidik menguasai 40% pasar dunia.

Di sisi lain, sejak perang dagang AS-China memanas, China juga telah melakukan diversifikasi sumber impor minyak kedelaianya. Diantaranya dari Brasil, Argentina, dan Paraguay.

"Jadi, dampak pemberlakuan tarif ekspor minyak kedelai dari AS ke China mungkin tidak terlalu besar. Namun, larangan masuknya UCO (minyak jelantah), residu minyak sawit (Harpor, Pome oil dll) dari China dan ASEAN oleh AS, akan berdampak cukup signifikan," terangnya.

"Dampaknya ke pasar CPO dunia pasti ada. Jika AS menggunakan minyak kedelainya untuk kepentingan domestiknya, akan membuat excess demand lebih besar di pasar minyak nabati dunia. Apalagi, Indonesia konsisten menjalankan B40 tahun 2025, dan B50 tahun 2026. Harga minyak nabati dan minyak sawit akan meningkat lagi," ujar Tungkot.

Ekspor CPO RI Bisa Anjlok 10%

Di sisi lain, Tungkot memprediksi, ekspor CPO Indonesia akan anjlok tahun ini. Namun, bukan berarti Indonesia akan kelebihan stok.

"Ekspor sawit dan produk turunannya untuk tahun 2025, volumenya diperkirakan akan lebih rendah dari tahun 2024. Penyebabnya adalah peningkatan alokasi CPO untuk biodiesel domestik (perubahan dari B35 ke B40). Ini mandatori, dan diperketat lagi melalui DMO-DPO, dan regulasi Permendag No 2/2025," kata Tungkot.

Dia menjelaskan, mandatori B35 ke B40 memerlukan tambahan CPO sekitar 2,5 juta ton atau naik dari 11,6 juta ton menjadi 14,1 juta ton).

"Sementara, produksi domestik hanya naik sedikit, sehingga volume ekspor bisa berkurang sekitar 8-10% dari tahun 2024," sebutnya.

"Volume ekspor berkurang bukan karena tidak dijual (tambah stok) tetapi karena digunakan di dalam negeri (stoknya tetap bahkan cenderung turun)," lanjutnya.

Tungkot memperkirakan, produksi CPO nasional hanya naik tipis sekitar 4% dari tahun 2025.

"Kenaikan ini memang masih jauh dari kenaikan normal sekitar 10% per tahun," katanya.

"Banyak faktor (penyebab produksi turun). Replanting tidak jalan sesuai norma normal (4% per tahun), tanaman eksisting banyak yang tidak optimal perawatannya (terutama dosis pupuk), serangan hama (khasnya ganoderma), penyerbukan tidak optimal, serta perubahan iklim," pungkas Tungkot.

Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), stok akhir minyak sawit Indonesia tahun 2023 tercatat sebanyak 3,22 juta ton. Sepanjang Januari-Oktober 2024, angka stok terakhir tercatat sebanyak 2,50 juta ton.


(dce/dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Pak Prabowo, Pengusaha Curhat Produktivitas Sawit RI "Mandek"

Next Article Belum Ada Kontrak Ekspor, Pengusaha CPO Didorong Jual ke Domestik

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|