Kisah Raja Kain RI Yang Akhirnya Tenggelam Tertimbun Utang

1 month ago 25

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex telah diputuskan pailit beberapa waktu lalu. Padahal, Sritex adalah perusahaan yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun dan sempat berjaya karena kualitas produknya.

Saham SRIL sudah dihentikan perdagangannya sejak 18 Mei 2022. Bahkan diumumkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai emiten yang memiliki potensi delisting pada Mei 2023. Ketentuan bursa menetapkan delisting dapat dilakukan terhadap saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi sekurang-kurangnya 24 bulan terakhir.

Selain suspensi SRIL yang sudah mencapai lebih dari ketentuan yakni 24 bulan, SRIL memiliki masalah kesehatan keuangan akibat hutang yang menggunung. Saat ini, Sritex menanggung defisit modal atau ekuitas negatif karena jumlah liabilitas yang lebih besar dari aset. Ini berarti kondisi SRIL di ambang kebangkrutan sebab jumlah jika utang jatuh tempo tidak bisa dibayar, bahkan ketika menjual aset pun tidak mampu menutupi semua hutang.

Liabilitas SRIL tercatat sebesar US$1,6 miliar atau sekitar Rp25,01 triliun, sementara ekuitasnya telah mencatatkan defisiensi modal sebesar -US$980,56 juta.

Mengacu pada laporan keuangan per semester I-2024, liabilitas SRIL didominasi oleh liabilitas jangka panjang, dengan perolehan sebesar US$1,47 miliar. Sementara liabilitas jangka pendeknya tercatat sebesar US$131,42 juta.

Adapun utang bank menjadi salah satu pos paling besar yang menyumbang liabilitas jangka panjang SRIL, dengan nilai sebesar US$809,99 juta atau sekitar Rp12.66 triliun. Hingga paruh pertama tahun ini, setidaknya terdapat 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang atas Sritex.

Sejarah berdirinya Sritex

Sejarah perusahaan Sritex tidak bisa terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto). Lukminto alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.

Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.

Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada 1980.

Tak banyak cerita 'tangan dingin' Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai 'raja' industri kain di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex.

Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto. Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.

Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.

"Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI," tulis Tempo. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaanya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.


(fsd/fsd)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Suku Bunga BI Dipantau, Rupiah & IHSG Masih Dibayangi "Tekanan"

Next Article Kronologi Bangkrutnya Raja Tekstil Sritex, Tumbang Ditelan Utang

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|