Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5%. Dengan begitu, UMP DKI Jakarta diprediksi naik signifikan menjadi Rp 5.396.760,77. Kemnaker pun meminta para gubernur di seluruh provinsi di Indonesia bisa mengumumkan UMP 2025paling lambat tanggal 11 Desember 2024.
Namun, keputusan pemerintah ini menimbulkan banyak pertanyaan dari kalangan pengusaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Jamsos, dan K3 DPP APINDO DKI Jakarta, Nurjaman menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak kenaikan tersebut, terutama pada dunia usaha.
"Kita bukan membahas soal adil atau tidak adil, mau atau tidak mau, tapi apakah regulasi ini sudah sesuai dengan prosedur? Apakah regulasi itu dibuat sesuai dengan takaran atau dengan ukuran?" ucap Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/12/2024).
Ia juga mempertanyakan ihwal pengumuman angka kenaikan 6,5% yang sudah disampaikan lebih dulu, sebelum regulasi resmi berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pengupahan diterbitkan pada Rabu, 4 Desember 2024 kemarin.
"Kenaikan 6,5% itu pertimbangannya apa? lalu mesti dilihat yang menjadi dasar pertimbangan untuk menaikkan itu apa? Kenapa pengumuman 6,5% sudah disampaikan tetapi regulasi Permenaker-nya baru kemarin, kan ini kayak mimpi gitu ya," ujarnya.
"Ini kan tiba-tiba sudah diumumkan 6,5%, yang jadi pertanyaan kami kok sudah langsung 6,5%? Kan tugas pemerintah itu adalah menyampaikan regulasi, menyampaikan aturannya, bukan menyampaikan nilainya. Tiba-tiba sudah menyampaikan golnya adalah 6,5% tapi bek kiri bek kanannya mana? Kan itu mesti ada operannya seperti apa, pembahasannya seperti di mana, tiba-tiba sudah langsung 6,5%, yang menjadikan pertimbangannya apa?" imbuh dia.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Ilustrasi Uang
Nurjaman menekankan, kenaikan UMP sebesar 6,5% dapat memberikan tekanan signifikan terhadap perusahaan, terutama di sektor yang sudah goyang, serta usaha skala kecil dan menengah. Menurutnya, tidak semua perusahaan memiliki kapasitas finansial yang sama untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan tersebut.
"Kemampuan perusahaan berbeda-beda. Jadi bukan suka atau tidak suka, bukan mau dan tidak mau, bukan terima dan tidak terima, tapi adakah kemampuan perusahaan? Harus ada klausul bagi perusahaan yang tidak mampu melaksanakan kenaikan ini. Kalau hanya memaksakan, dampaknya bisa besar, mulai dari penurunan produktivitas, efisiensi, hingga PHK," jelasnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya regulasi yang ramah investasi. "Regulasi yang baik adalah yang mendorong investasi, memastikan kelangsungan usaha, dan dengan itu menciptakan lapangan kerja. Kalau kebijakan ini tidak mempertimbangkan hal tersebut, justru akan berdampak negatif," tambah Nurjaman.
Salah satu perhatian utama Nurjaman dari adanya kenaikan 6,5% di tahun 2025 ini adalah dampak kenaikan UMP terhadap dinamika internal perusahaan. Ia menjelaskan, filosofi UMP seharusnya berlaku untuk pekerja baru dengan masa kerja di bawah 1 tahun.
"Orang yang baru masuk kerja belum memiliki produktivitas dan kompetensi yang memadai. Kalau kenaikan UMP terlalu besar, bagaimana dengan karyawan lama yang sudah berpengalaman? Ini bisa memicu kecemburuan dan mengurangi produktivitas mereka," tukas dia.
Nurjaman menambahkan, kesenjangan upah yang kecil antara karyawan baru dan karyawan lama dapat menimbulkan gejolak di perusahaan.
"Karyawan dengan masa kerja lebih lama akan merasa tidak dihargai, dan ini berisiko memperlambat kinerja mereka," ujarnya.
Lebih lanjut, APINDO berharap pemerintah lebih bijak dalam merumuskan kebijakan UMP ke depan. "Kenaikan upah harus terukur dan mempertimbangkan kemampuan perusahaan. Jangan hanya berdasarkan keinginan pemerintah atau pekerja, tetapi harus realistis sesuai kondisi dunia usaha," tegas Nurjaman.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah memberikan solusi, seperti stimulan khusus bagi perusahaan yang tidak mampu, serta insentif untuk mendukung keberlangsungan usaha.
"Jika kebijakan ini hanya membebani perusahaan, dampaknya bisa (berantai), dari biaya produksi yang naik, daya beli masyarakat menurun, hingga perusahaan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran," pungkasnya.
(wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Menaker Ancam Pengusaha Yang Tak Bayar UMP 2025 Sesuai Aturan
Next Article Sampaikan Pesan ke Menaker Soal Upah Minimum, Pengusaha: Kami Kecewa!