Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas 2014-2015, Andrinof Chaniago mengungkapkan kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% menjadi tanda jelas bahwa negara kurang uang untuk membiayai program pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah akan menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025. Rencana kenaikan ini telah memicu penolakan dari masyarakat. Pasalnya, kenaikan akan diberlakukan di tengah daya beli yang melemah.
"Itu tanda-tanda Indonesia kurang uang. Kalau lagi bicara sumber uang, berarti negara, pemerintah kurang uang berarti. Ya pajak, cari sumber-sumber pajak.
Dinaikkin pajaknya, atau basis pajaknya dicari. Ya kemudian, nambah utang," katanya dalam Koneksi Cuap-Cuap Cuan, dikutip Rabu (4/12/2024). Menurut Andrinof, hal ini disebabkan oleh adanya sumber penerimaan negara yang tidak maksimal. Contohnya bagi hasil sumber daya alam.
"Bukan ga ada sumber lain, ada yang menjadi haknya negara itu ada, tapi ga ada diambil. Ya, itu contohnya bagi hasil sumber daya alam. Itu contoh nyata," kata Andrinof.
Andrinof mencontohkan windfall profit dari batu bara pada 2021-2023 cukup besar, tetapi hanya dinikmati segelintir pihak.
"Gak dikuasai oleh negara dan digunakan oleh segelintir pihak. Itu yang melanggar."
Hal ini, menurutnya, membuat miris. Pada 2021-2023, harga batu bara sempat melonjak tinggi. Bahkan hingga menyentuh US$ 420 dolar per metrik ton. Saat itu, pengusaha pesta pora. Keuntungan mereka, kata Andrinof, bisa mencapai Rp 1 triliun - Rp 2,7 triliun per individu. Sementara itu, mereka tidak turun langsung, banyaknya pengusaha hanya memberikan kontrak turunan untuk pengerukan atau logistik tambang.
"Ya itu dapatnya dengan enak, gak berkeringat cuma punya izin, lalu di sub-contractkan," ujarnya.
Saat itu, pemerintah dinilai tidak menerima bagi hasil yang wajar, baik dalam bentuk PNBP, PPh badan hingga bea keluar. Padahal dari perhitungan Andrinof, nilai total produksi batu bara pada periode tersebut bisa mencapai Rp 3.000 triliun. Dari nilai tersebut, Andrinof mengatakan negara hanya mendapatkan ratusan triliun. Padahal, di dalamnya ada hak negara dan hak rakyat Indonesia.
"Jadi kalau total produksi, selama dua tahun itu Rp 3.000 triliun lebih. Rp 3.000 triliun itu sudah hampir APBN satu tahun. Negara hanya dapat Rp 144 triliun. Yang ditahun keduanya itu, 2022, itu kalau gak salah Rp 150-an triliun. Itu dibanding nilai total tadi kecil sekali. Sementara itu ada harta rakyat, harta negara," tegasnya.
Menurut Andrinof, jika negara mendapatkan 40-45% dari nilai produksi tersebut, penerimaannya bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Bahkan, jika besaran bagi hasil diterapkan hari ini, negara masih bisa mendapatkan Rp 300 - Rp 800 triliun dari nilai total produksi.
Dari data BPS, Indonesia mencatatkan total volume ekspor batu bara mengalami tren peningkatan pada 2021-2023, yakni 345,45 juta metrik ton pada 2021; 360,11 juta metrik ton pada 2022 dan 379,70 metrik ton pada 2023.
Pada 2022, harga batu bara mencapai rekor terbesar dalam sejarah. Sebagai catatan, harga batu bara mencetak rekor dua kali pada tahun ini yakni pada 2 Maret 2022 di posisi US$ 446 per ton serta pada 5 September 2022 di harga US$ 463,75 per ton.
Nilai ekspor batu bara Indonesia pada 2022 menyentuh US$ 46,74 miliar atau setara dengan Rp 705,39 triliun rupiah. Sayangnya, keuntungan ini tidak tercermin dalam cadangan devisa Indonesia.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Strategi Perusahaan Batu Bara Pertahankan Tata Kelola yang Baik
Next Article Potret 'Sesaknya' Jalur Utama Tongkang Batu Bara di Sungai Mahakam