Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membeberkan terdapat sederet tantangan yang harus diperbaiki untuk menggenjot pengembangan proyek hulu minyak dan gas (migas) di Indonesia. Mulai dari perbaikan iklim investasi, persetujuan lingkungan, hingga perizinan lahan.
Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto mengungkapkan bahwa perbaikan iklim investasi hulu migas sangat diperlukan untuk menggaet para investor masuk ke Indonesia. Salah satunya dengan pemberian pembebasan pajak-pajak tidak langsung, khususnya pada kegiatan eksplorasi.
"Di mana eksplorasi ini belum menghasilkan uang, bahkan investor KKKS itu melakukan pengeluaran uang untuk kegiatan eksplorasi dan kita berharap adanya pemberlakuan assume and discharge," kata Djoko dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII, DPR RI, dikutip Selasa (19/11/2024).
Oleh sebab itu, menurut Djoko, para pelaku usaha di sektor hulu migas berharap adanya percepatan penerbitan sejumlah regulasi. Seperti Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 dan Revisi PP Nomor 53 Tahun 2017, dimana pajak pajak tidak langsung diberikan tanpa pertimbangan keekonomian.
"Perlu ditegaskan bahwa pemberian pajak-pajak tidak langsung diberikan tanpa pertimbangan keekonomian, khususnya untuk kegiatan eksplorasi dapat dibebaskan," kata dia.
Isu berikutnya adalah lambatnya terkait proses penerbitan izin soal lingkungan, yakni Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) hingga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Setidaknya butuh waktu 5-24 bulan untuk penerbitan izin UKL-UPL maupun izin AMDAL.
Ia pun berharap ada terobosan baru, misalnya setiap kegiatan hulu migas bisa secara otomatis mendapatkan AMDAL. Djoko menilai, izin AMDAL yang didapatkan otomatis akan sangat membantu bagi pelaku industri hulu migas.
"Ini akan sangat membantu kalau kegiatan hulu migas langsung diberikan otomatis izin AMDAL. Apabila terjadi pencemaran, langsung dikenakan denda, ini akan lebih sangat membantu sekali," katanya.
Tantangan selanjutnya terkait kendala operasi hulu migas di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Ia menyebut bahwa persetujuan alih fungsi LP2B untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hingga saat ini belum diterbitkan. Djoko berharap persetujuan ini bisa terbit sebelum akhir tahun 2024 ini.
Kemudian isu selanjutnya yakni terkait PBB Tubuh Bumi dan Permukaan. Djoko menilai selain pengenaan PBB Tubuh Bumi terhadap total lifting, pajak tersebut juga dikenakan pada aset hulu migas yang sudah tidak dimanfaatkan.
Ia pun meminta agar PBB Tubuh Bumi itu hanya dikenakan terbatas pada lifting bagian kontraktor dan terhadap lokasi yang betul-betul dimanfaatkan di daratan oleh KKKS.
Sementara untuk aset yang tidak termanfaatkan lagi, ada baiknya mendapat pembebasan PBB. Mengingat, aset yang tidak dimanfaatkan tersebut secara otomatis menjadi milik negara.
"Kalau dikenakan pajak ya harusnya negara sendiri yang bayar pajak. Masuk kantong kiri, kantong kanan akan lebih baik kalau aset yang sudah tidak dimanfaatkan itu tidak dikenakan PBB," kata Djoko.
Berikutnya tantangan dari laut lepas, yakni pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Setidaknya ada dua hal yang dihadapi industri hulu migas dalam mencari potensi di laut lepas, yakni proses KKPRL dan UKL-UPL maupun AMDAL yang tidak bisa dijalankan beriringan atau paralel. Kedua, yakni pengenaan PNBP KKPRL pada proyek-proyek hulu migas, termasuk pada kegiatan eksplorasi.
"Kami mengusulkan PNBP Rp 0 untuk proyek-proyek migas karena merupakan proyek pemerintah, khususnya eksplorasi yang belum menghasilkan uang," ujarnya.
Kemudian, tantangan selanjutnya terkait serapan gas. Djoko membeberkan bawah saat ini terdapat kelebihan pasokan gas bumi di Jawa Timur serta Natuna. Ke depan, ada juga potensi kelebihan gas pada area Aceh.
Oleh sebab itu, perlu upaya untuk melakukan optimalisasi serapan gas dari sumber-sumber tersebut yang akan meningkatkan penerimaan negara, termasuk pencapaian target dari lifting nasional.
"Isu terakhir adalah illegal drilling, illegal refinery, illegal tapping yang membuat adanya potensi kehilangan minyak sebesar lebih kurang 8.000 barrel oil per day," katanya.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Tebar Banyak Insentif, RI Incar Investor Migas di Abu Dhabi
Next Article Ada 138 Proyek Hulu Migas Hingga 2029, Butuh Investasi Rp543 Triliun