Jakarta, CNBC Indonesia - Meski Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyebut pengusaha sudah memahami penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5%. Kenyataannya pengusaha saat ini masih mengungkapkan keberatannya.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Jamsos, dan K3 DPP APINDO DKI Jakarta, Nurjaman menyebut pemahaman yang dimaksud Yassierli sebelumnya itu bukan berarti para pengusaha telah menerima keputusan.
"Pemahaman itu bukan berarti menerima. Kami justru melihat regulasi yang ada kurang mendukung. Seharusnya, kenaikan seperti ini dituangkan dalam bentuk regulasi yang jelas dan terukur. Sayangnya, Permenaker yang ada tidak memiliki dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP)," kata Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/12/2024).
Bahkan, Nurjaman menyebut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pengupahan, cenderung cacat prosedur.
"Menurut saya, Permenaker ini juga sedikit agak cacat, karena yang memerintahkan Permen itu kan mesti ada PP. PP-nya mana? Kan tidak ada PP-nya. Mestinya PP memerintahkan ada Permen. Mestinya kan gitu, Tapi kan ini tidak ada. Tiba-tiba langsung ada Permen. Tapi kan ini sudah terjadi, mau dibilang apa lagi," tukasnya.
Perlu diketahui, Menaker Yassierli mengungkapkan sudah berkomunikasi dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terkait asal angka penetapan UMP 2025, sebesar 6,5%. Menurutnya pengusaha sudah tidak lagi melakukan protes.
"Pengusaha banyak protesnya sebelum tadi malam, tadi malam kami sudah sampaikan. Setelah penjelasan tadi malam (Selasa malam), jadi enggak ada protes lagi," kata Yassierli saat memberikan keterangan pers, di Kementerian Ketenagakerjaan, Rabu (4/12/2024).
Nurjaman menyoroti kenaikan UMP tahun 2025 sebesar 6,5% dapat memberatkan perusahaan, terutama bagi perusahaan yang sudah goyang atau kesulitan dan usaha skala kecil dan menengah.
"Banyak perusahaan saat ini sudah melakukan efisiensi, bahkan pengurangan karyawan. Contohnya, beberapa perusahaan besar seperti Sritex, Jogja Ritel, dan Panamtex sudah mulai goyang," kata dia.
Katanya, kenaikan UMP juga berpotensi menaikkan biaya produksi secara keseluruhan. Nurjaman menjelaskan bahwa kenaikan upah akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja (labor cost) dan biaya produksi lainnya, termasuk BPJS dan biaya operasional.
"Kalau biaya produksi naik, harga barang juga akan naik. Akibatnya, daya beli masyarakat turun. Ketika daya beli turun, perusahaan tidak mungkin terus memproduksi. Akhirnya efisiensi dilakukan, dan kalau itu tidak cukup, PHK akan terjadi. Ini fakta, bukan menakut-nakuti," tegasnya.
APINDO Minta Pemerintah Bijak
Nurjaman menyampaikan, pengusaha membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah. Ia menyarankan adanya kebijakan khusus bagi perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah.
"Harapan kami ada dua hal. Pertama, pemerintah memberikan stimulan bagi perusahaan yang kesulitan. Kedua, kebijakan yang memungkinkan fleksibilitas bagi perusahaan yang benar-benar tidak mampu. Jangan hanya bicara perusahaan besar yang mampu, tetapi juga perhatikan perusahaan kecil yang saat ini sudah tertekan," terang Nurjaman.
Selain itu, ia juga mengingatkan pemerintah untuk lebih bijak dalam mengeluarkan kebijakan di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.
"Pemerintah sering bilang ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Kalau begitu, kebijakan upah juga harus mempertimbangkan kondisi ini. Jangan sampai kebijakan yang ada justru memperburuk situasi dunia usaha," pungkasnya.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Simalakama Kenaikan Upah! Dinanti Pekerja, Tapi Industri Merana
Next Article Dear Pak Prabowo, Siap-Siap Serikat Buruh Minta UMP 2025 Naik 10-20%