OECD Bongkar Rendahnya Setoran Pajak RI, Kebanyakan Pekerja Informal!

2 months ago 17

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD mengonfirmasi penerimaan pajak Indonesia merupakan yang terendah dibanding negara-negara ASEAN. Masalahnya, terletak pada banyaknya pekerja informal di Indonesia dan rendahnya kepatuhan perpajakan.

Sebagaimana diketahui, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya di kisaran 10,21%, sedangkan Vietnam di kisaran 22,7%, diikuti Filipina yang bergeraknya di kisaran 17,8%, Thailand 16,5%, Singapura 12,8%, dan Malaysia 11,4% terhadap PDB nya masing-masing negara.

"Penerimaan pajak Indonesia masih menjadi salah satu yang terendah di ASEAN. Lapangan pekerjaan informal dan rendahnya tingkat kepatuhan pajak merupakan tantangan utama," dikutip dari dokumen Survei Ekonomi OECD Indonesia edisi November 2024, dikutip Kamis (28/11/2024).

Berdasarkan catatan OECD Lapangan kerja informal di Indonesia masih tersebar luas. Meskipun terdapat tren penurunan dalam beberapa dekade terakhir, sekitar 60% dari angkatan kerja OECD perkirakan berada dalam jenis pekerjaan informal, lebih tinggi dari negara-negara tetangga.

Pekerjaan informal mencakup pekerja rumah tangga yang tidak dibayar, karyawan di sektor usaha informal, serta pekerja informal di perusahaan formal. Produktivitas dan gajinya pun mereka anggap cenderung lebih rendah di perusahaan informal.

Sementara itu, untuk tingkat kepatuhan pajak mereka titik beratkan dari masih tingginya tindakan penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan besar dan individu berpenghasilan tinggi. Permasalahan ini OECD anggap disebabkan belum tegasnya penegakan hukum pajak di Indonesia.

Untuk menyelesaikan masalah itu, OECD pun memberikan sejumlah rekomendasi reformasi lanjutan di sektor perpajakan. Reformasi di sektor perpajakan yang menurut mereka perlu menjadi perhatian utama adalah reformasi atas PPN, cukai, pajak penghasilan, dan pajak properti serta jaminan sosial.

Berikut ini rinciannya saran dari OECD:

1. Untuk reformasi PPN, OECD menganggap usaha beromzet kurang dari Rp 4,8 miliar (US$ 300.000) masih dibebaskan dari PPN. Padahal mbang batas ini lebih tinggi daripada di kebanyakan negara OECD dan jauh lebih tinggi daripada Thailand dan Filipina, yang hanya sekitar US$ 50.000.

Penurunan ambang batas PPN, serta pengurangan jumlah sektor yang tidak dikenakan PPN, akan meningkatkan penerimaan PPN dari sektor-sektor yang baru maupun yang sudah dikenakan.

2. Pajak lain atas barang: Total pungutan cukai di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. Menimbang polusi udara sebagai eksternalitas dan tujuan pengurangan emisi, terdapat peluang untuk mengambil langkah yang menguntungkan bagi lingkungan dan perpajakan, yaitu dengan menaikkan cukai BBM dan mengurangi subsidi BBM, meskipun untuk itu sensitivitas politik harus diatasi. PPnBM saat ini ditanggung oleh rumah tangga kaya, tetapi perhitungannya rumit dan menyebabkan pelaporan yang tidak semestinya.

Pengenaan pajak atas kepemilikan mobil, bukan atas pembelian mobil, dapat menurunkan risiko pelaporan yang tidak lengkap. Cukai rokok juga perlu dinaikkan demi peningkatan pendapatan dan capaian kesehatan; merokok masih menjadi tantangan kesehatan yang amat besar di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan.

3. Pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP): Ambang batasnya masih sangat tinggi: penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 54 juta adalah sekitar 65% dari PDB per kapita dan golongan pajak 25% dimulai dari pendapatan di atas Rp 250 juta (300% dari PDB per kapita). Hasilnya, kelas menengah yang sedang tumbuh sebagian besarnya tidak terkena PPh OP: pada tahun 2017, hanya 10% dari populasi yang aktif membayar PPh OP dibandingkan dengan rata-rata ASEAN yang sebesar 15%.

Reformasi perlakuan pajak atas imbalan natura akan meningkatkan basis pajak. Akan tetapi, masih ada ruang untuk mengurangi ambang batas perpajakan. Seperti yang dikemukakan dalam lapisan pertama PPh OP harus dibekukan, sehingga turun secara riil, sementara ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya. Pendapatan pemerintah juga dapat ditingkatkan dengan memastikan kepatuhan pajak dan menanggulangi penghindaran pajak di kalangan masyarakat berpenghasilan tinggi.

4. Pajak penghasilan badan (PPh Badan): Tarif PPh Badan ditetapkan sebesar 22% di Indonesia, atau sejalan dengan rata-rata internasional sekitar 21%. Ketimbang menaikkan tarif PPh Badan, Indonesia punya ruang untuk memperluas basis pajak dengan mereformasi dan mempersempit rezim tarif presumtif bagi usaha kecil, dan dengan menghapuskan insentif pajak atau membuatnya lebih murah. Indonesia juga perlu memastikan insentif pajaknya tetap sesuai dengan perjanjian Pajak Minimum Global.

5. Pajak properti: Sejak tahun 2012, pajak bumi dan bangunan sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah sejalan dengan praktik internasional. Berada di level 0,3% dari PDB, PBB Indonesia tergolong rendah dibandingkan rata-rata ASEAN. Tarif pajak nominal adalah 0,5% dari nilai appraisal, tetapi nilai appraisal adalah antara 20% (untuk properti di bawah Rp 1 miliar) dan 40% (di atas Rp 1 miliar) dari perkiraan nilai penjualan sehingga tarif efektifnya adalah antara 0,1% dan 0,2% dari nilai penjualan properti.

Mengizinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan nilai appraisal hingga 100% dari nilai penjualan dan berinvestasi pada pembentukan kadaster terpusat dan perangkat valuasi dapat secara signifikan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah. Alat valuasi juga akan memungkinkan implementasi bertahap pajak waris.

6. Jaminan sosial: Program jaminan sosial sedang diluncurkan; pendapatan pun berpeluang naik melalui kontribusi sosial, karena kesediaan masyarakat untuk membayar kontribusi dapat meningkat dengan adanya hak-hak baru untuk pensiun dan asuransi di masa mendatang.

Saat ini, perusahaan dengan 20 karyawan atau kurang memberikan kontribusi sosial yang lebih rendah, sementara sektor informal tidak tercakup. Pengecualian kontribusi perlu dipersempit ke usaha yang paling berisiko untuk masuk ke sektor informal.

Selain itu, batas jumlah karyawan yang mendefinisikan perusahaan kecil perlu diturunkan atau diterapkan hanya pada usaha non-badan hukum agar tidak menjadi insentif pemecahan usaha menjadi unit-unit yang lebih kecil.

Dengan meningkatkan kesadaran tentang dan manfaat dari kontribusi sosial, pekerja akan lebih termotivasi untuk meminta didaftarkan dan ditanggung secara penuh. Perlindungan penuh atas seluruh pekerja perlu tetap menjadi tujuan jangka panjang dari kebijakan sosial.

"Penegakan hukum pajak yang lebih tegas juga diperlukan. Penghindaran pajak masih kerap dilakukan perusahaan besar dan individu berpenghasilan tinggi, namun peningkatan kapasitas perpajakan juga diperlukan jika ambang batas pengecualian diturunkan untuk perusahaan kecil dan individu kelas menengah (terutama untuk PPN dan PPh OP)," dikutip dari laporan OECD.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: PPN Naik 12% Dikritik Rakyat, Dunia Usaha Pun Ikut Tercekat!

Next Article Ambisi Jadi Anggota OECD, RI Siap Pungut Pajak Minimum 15%?

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|