Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia dikejutkan dengan lengsernya Presiden Suriah Bashar Al Assad, Minggu (8/12/2024). Assad tumbang setelah hanya dalam 11 hari pasukan pemberontak memulai operasi besar-besaran untuk merebut Negeri Syam seluruhnya dari tangan rezim Assad.
Karir dan kekuatan orang kuat Suriah itu telah berakhir setelah menahan pemberontakan yang memicu perang saudara selama hampir 14 tahun. Kemunduran Assad pun memberikan tekanan yang berat bagi Iran, yang merupakan penyokong utamanya.
Sebelum Assad tumbang, proksi Negeri Para Mullah itu seperti Hizbullah di Lebanon serta sejumlah milisinya di Irak telah menghadapi tekanan yang kuat dari Israel dan Amerika Serikat (AS). Selain itu, di Gaza Palestina, milisi sokongan Iran, Hamas, juga mendapatkan serangan dari Tel Aviv.
Ahli Keamanan di King's College London (KCL), Andreas Krieg, mengatakan bahwa kondisi ini kemudian harus memaksa Iran dan proksinya, yang dikenal sebagai 'Poros Perlawanan', untuk berkonsentrasi pada wilayah asal mereka dan bukan terlibat di peperangan di luar negara mereka
"Dengan demikian, poros itu akan kehilangan cita rasa transnasionalnya dan kedalaman strategis regionalnya," ujarnya kepada AFP, dikutip Selasa (10/12/2024).
Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 merupakan awal mula dari pelemahan poros sokongan Iran. Kekuatan militer Hizbullah telah dirusak dan pemimpinnya, Hassan Nasrallah, telah dibunuh oleh Israel. Israel, di sisi lain, telah menyerang jalur pasokan militer dan keuangan Hizbullah dari Iran melalui Suriah.
Pendukung Iran yang tersisa berada di Yaman dan Irak. Meski sempat berulang kali mengganggu AS dan sekutunya di kawasan itu, namun menjadi pengganggu tampaknya tidak dapat melakukan perubahan besar.
"Mereka kemungkinan akan kehilangan (pengaruh) itu," tambah Krieg.
Krieg pun juga ikut menyoroti manuver Rusia, yang selama ini juga dikenal menjadi pendukung Assad. Rusia, yang terlibat dalam perang yang menguras sumber daya dengan Ukraina, juga menghadapi keputusan berisiko tinggi karena pangkalan Angkatan Laut Timur Tengah terbesarnya berada di Tartus di pantai Mediterania Suriah.
"Saya tidak dapat melihat bagaimana rezim baru atau tatanan sosial-politik baru akan memungkinkan Rusia untuk tetap berkuasa setelah semua yang telah dilakukan Rusia untuk menopang rezim Assad," tuturnya.
Lebih lanjut, Krieg menambahkan bahwa pemenang sebenarnya dalam perang Suriah ini adalah Turki, di mana Ankara menyokong salah satu pemberontak terbesar, Hayat Al Tahrir Syam (HTS). Kelompok itu diketahui dengan cepat menguasai Aleppo dan kemudian bergerak terus ke Damaskus.
"Namun, meskipun memiliki pengaruh, Turki tidak mengendalikan pemberontak," pungkasnya.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Spesialis di lembaga pemikir Century International, Aron Lund, menyebutkan bahwa Suriah masih memiliki masa depan yang tidak menentu. Hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang berperang melawan Assad, sehingga mencari pengganti Assad merupakan hal yang dapat diperebutkan sejumlah pihak.
"Bukan hanya rezim Assad yang jatuh, tetapi juga pertanyaan tentang apa yang akan menggantikannya? Dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengkristal? Jadi, Anda dapat dengan mudah melihat berbagai jenis pertikaian regional terjadi di Suriah," kata Lund kepada AFP.
Lund menuturkan bahwa pemimpin baru Damaskus kemungkinan akan banyak memberikan tantangan di Timur Tengah. Pasalnya, kelompok HTS, yang berhaluan Islam kanan, telah mendapatkan pamor yang besar pasca perebutan ini.
"Ini adalah Ikhwanul Muslimin yang lebih militan dan memusuhi mereka (negara-negara Timur Tengah yang berhubungan dengan Assad)," ungkapnya.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video:Pemberontak Suriah Rebut Kota Hama, Presiden Assad Kian Terdesak
Next Article Perang Arab Menggila, Pejuang Irak Gabung Pasukan Rusia Gempur Suriah