Jakarta, CNBC Indonesia - Sengketa pengelolaan Museum Soeharto di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) seolah tak ada habisnya. Bahkan, kasus ini kembali menjadi sorotan hukum.
Seperti diketahui, sengketa ini berawal dari Perjanjian Kerja Sama antara Mitora Pte. Ltd. dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi yang dituangkan dalam Akta Notaris Nomor 13 tanggal 17 April 2014. Mitora telah menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian, termasuk menyusun master plan, melakukan presentasi proyek, dan mendanai operasional selama periode tertentu. Namun sebaliknya, Yayasan dinilai gagal memenuhi kewajiban hukum yang menjadi dasar pelaksanaan proyek. Hal ini mencakup penyerahan dokumen penting, dukungan teknis di lapangan, dan penandatanganan perjanjian lanjutan. Akibatnya, pembangunan tidak dapat dimulai dan proyek menjadi terhambat.
Dari permasalahan tersebut, menariknya Mitora malah dianggap telah melakukan Cedera Janji (Wanprestasi) terhadap Perjanjian Kerjasama Nomor 13 tertanggal 7 April 2014 dan telah teregister di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Nomor perkara: 47013/11/ARB-BANI/2024.
Dalam analisis yuridisnya, Pakar Hukum Tata Negara dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Muhammad Rullyandi mengatakan, putusan BANI dalam perkara tersebut mengandung cacat hukum yang serius.
Dia berpendapat, putusan tersebut tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, melainkan juga berpotensi mencederai asas keadilan dan kepastian hukum yang dijamin oleh Undang-Undang.
Kontradiksi dalam Amar Putusan
Salah satu masalah utama dalam putusan tersebut adalah adanya kontradiksi hukum (contradictio in terminis). Amar putusan menyatakan bahwa salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi di sisi lain juga membatalkan perjanjian kerja sama yang menjadi dasar hubungan hukum antara para pihak.
"Jika sebuah perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka hubungan hukum antara para pihak tidak ada. Namun, jika wanprestasi dinyatakan, perjanjian tersebut harus dianggap sah dan mengikat. Kedua hal ini tidak dapat berjalan bersama dalam satu putusan," ungkap dia dalam keterangan resmi, Selasa (3/12/2024).
Di samping itu, amar putusan yang dinilai bertentangan seperti ini telah melanggar asas pacta sunt servanda, di mana perjanjian yang telah disepakati harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.
Ketidakcocokan Fakta Hukum dan Dugaan Pelanggaran Prosedural
Selain kontradiksi dalam amar putusan, Rullyandi juga menyoroti adanya ketidaksesuaian fakta hukum dan prosedur dalam proses arbitrase. Dia mengungkapkan, proses arbitrase dalam perkara ini tidak dilakukan secara transparan sehingga berpotensi melanggar prinsip keadilan.
"Salah satu pihak diduga menyembunyikan dokumen yang sangat penting, seperti dokumen penolakan cek kosong, yang dapat memengaruhi jalannya perkara. Tindakan semacam ini menunjukkan kurangnya itikad baik dalam proses arbitrase," ungkap Rullyandi.
Dia juga menggarisbawahi kemungkinan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam persidangan. Jika terbukti, hal ini menjadi dasar kuat untuk membatalkan putusan sesuai dengan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Rullyandi juga menjelaskan bahwa proses arbitrase ini mencerminkan kurangnya objektivitas dan profesionalisme. Proses arbitrase yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, dan terbuka dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang independen.
Implikasi Hukum
Rullyandi pun menegaskan bahwa putusan arbitrase yang cacat hukum seperti ini dapat diajukan pembatalannya ke pengadilan. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan penuh untuk menganulir putusan yang tidak memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum, sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 72 UU Arbitrase.
Perlu diketahui juga bahwa sengketa terkait Museum Soeharto memiliki dimensi kepentingan publik yang signifikan.
"Penyelesaian sengketa ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keadilan bagi seluruh pihak yang bersengketa, serta menjaga integritas aset nasional yang dikelola oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi," kata Rullyandi.
Tak hanya itu, Rullyandi menyerukan pentingnya proses hukum yang transparan dan jujur dalam penyelesaian sengketa. Putusan arbitrase yang tidak didasarkan pada fakta hukum dan keadilan hanya akan merugikan para pihak yang bersengketa dan mencederai asas keadilan.
"Saya berharap pengadilan melalui majelis hakim no perkara 531/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengoreksi Putusan BANI ini," pungkas dia.
(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini: