REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bilal bin Rabah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang luar biasa, dikenal sebagai muadzin pertama dalam sejarah Islam. Lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah, Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makkah) sebagai seorang budak milik keluarga Bani Abdud Dar.
Meskipun statusnya sebagai budak, Bilal menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam memeluk Islam, membuatnya menjadi salah satu sosok yang paling awal memeluk agama baru ini, bersama dengan Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa orang lainnya.
Stok kesabarannya berlimpah, sehingga tak gentar menghadapi penyiksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, terutama oleh Umayyah bin Khalaf, yang merupakan majikannya sendiri.
Meskipun disiksa dengan cara yang kejam, Bilal tetap teguh pada keyakinannya dan terus mengumandangkan kalimat tauhid, "Ahadun Ahad", yang berarti "Tuhan Yang Maha Esa". Setelah dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Bilal menjadi muadzin tetap Rasulullah SAW dan mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi.
Muadzin pertama ini dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, sehingga tak lagi menjadi budak. Lelaki berkulit hitam ini menjadi muadzin tetap Rasulullah SAW dan mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi.
Dalam keadaan merdeka, dia tetap memilih kesederhanaan. Kezuhudannya terlihat dari sikapnya yang tidak pernah terpikat oleh dunia, meski kedudukannya dekat dengan Rasulullah.
Bilal lebih mengutamakan ibadah dan akhirat dibandingkan harta dunia. Ia tidak menimbun kekayaan, bahkan ketika mendapat bagian dari ghanimah (harta rampasan perang), ia segera membagikannya kepada kaum fakir.
Dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ (2/305), disebutkan bahwa Bilal adalah sosok yang dermawan, tidak menyisakan apapun untuk dirinya, karena keyakinannya bahwa Allah akan mencukupi kebutuhan hamba-Nya.
Kesederhanaan Bilal tampak dalam kehidupannya sehari-hari. Ia memilih pakaian yang sederhana, makanan yang seadanya, dan rumah kecil yang cukup untuk dirinya.