Bumi Makin Sakit, 2024 Jadi Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

1 month ago 17

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2024 hampir dipastikan menjadi tahun terpanas dalam sejarah, menurut data terbaru yang dirilis oleh Copernicus Climate Change Service (C3S). Suhu rata-rata global tahun ini diperkirakan mencapai 1,60°C di atas level pra-industri, menjadikannya tahun pertama dalam sejarah dengan rata-rata suhu melebihi ambang batas 1,5°C.

November 2024 mencatat suhu permukaan global rata-rata 1,62°C di atas level sebelum revolusi industri, menjadikannya bulan ke-16 dari 17 bulan terakhir yang melampaui ambang batas 1,5°C. Dengan data selama 11 bulan tahun ini, para ilmuwan memperkirakan suhu rata-rata tahunan akan melampaui rekor sebelumnya sebesar 1,48°C yang tercatat pada 2023.

"Kami dapat mengonfirmasi dengan kepastian virtual bahwa 2024 akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah dan tahun kalender pertama dengan suhu rata-rata di atas 1,5°C. Ini tidak berarti Perjanjian Paris telah dilanggar, tetapi menunjukkan bahwa tindakan iklim yang ambisius makin mendesak," tutur Deputi Direktur C3S, Samantha Burgess, dilansir The Guardian, Senin (9/12/2024).

Meskipun Perjanjian Paris bertujuan membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C, pengukuran ini dilakukan berdasarkan rata-rata dekade, bukan hanya satu tahun. Namun, dengan tren kenaikan suhu seperti ini, peluang untuk mempertahankan batas tersebut semakin kecil.

Pemanasan global yang terus meningkat mengakibatkan intensifikasi cuaca ekstrem di seluruh dunia. Gelombang panas dengan intensitas dan frekuensi yang sebelumnya tidak mungkin kini semakin sering terjadi.

Badai yang lebih dahsyat, banjir yang lebih parah, serta kebakaran hutan yang meluas menjadi bukti nyata krisis iklim ini.

Mark Parrington, ilmuwan senior dari Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), melaporkan bahwa kebakaran hutan tahun 2024 mencapai skala historis, terutama di Bolivia, Pantanal, dan beberapa bagian Amazon.

"Kebakaran di Kanada tetap ekstrem meskipun tidak sebanding dengan rekor tahun 2023," ujar Parrington.

Kebakaran ini menyebabkan polusi udara lintas benua selama berminggu-minggu, memperburuk kondisi kesehatan masyarakat.

Kerugian Ekonomi

Lembaga riset perusahaan asuransi Swiss Re melaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem tahun ini meningkat 6% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai US$320 miliar. Angka ini 25% lebih tinggi dibandingkan rata-rata 10 tahun terakhir.

Topan Helene dan Milton, badai petir di AS, serta banjir besar di Eropa dan Uni Emirat Arab, menjadi kontributor utama kerugian yang diasuransikan. Namun, lebih dari setengah kerugian global tidak diasuransikan karena masyarakat miskin tidak mampu membayar premi.

Swiss Re menyoroti pentingnya langkah-langkah adaptasi seperti pembangunan tanggul, bendungan, dan pintu air, yang disebutnya sepuluh kali lebih hemat biaya dibandingkan rekonstruksi.

"Kerugian akan terus meningkat seiring perubahan iklim yang memperburuk cuaca ekstrem, sementara urbanisasi menyebabkan aset bernilai tinggi berada di area berisiko tinggi," kata laporan itu.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: La Nina Terjadi di Musim Hujan, BMKG Ingatkan Wilayah Ini

Next Article 'Neraka Bocor' di Bumi Kian Nyata, PBB Beri Peringatan Merah!

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|