Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi V DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait penyusunan RUU Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Dalam kesempatan itu, diundang pula para aplikator penyedia layanan ride hailing dari Gojek, Grab, dan Maxim.
Namun, Wakil Ketua Komisi V Syaiful Huda menilai aplikator masih mau mempertahankan Peraturan Menteri Perhubungan 108 tahun 2017 dan Permenhub 12 Tahun 2019, yang memang selama ini mengatur soal ojek online (ojol).
"Sangat minim sekali diskusi kita terkait dengan revisi ini. Saya menyayangkan [aplikator] ingin tetap menggunakan Permenhub, di mata kami sebenarnya tidak mencukupi," kata Syaiful, Rabu (5/3/2025).
Menurutnya, perlu ada payung hukum baru untuk mendefinisikan standar terkait relasi hubungan pekerja dan platform digital. Opsinya bisa menjadi mitra, pekerja ataupun definisi lain.
Dengan merasa tidak ingin adanya regulasi baru, Syaiful merasa tidak akan ada perkembangan. Ia lantas mengambil contoh aturan untuk ojol di negara lain.
Salah satunya adalah Norwegia dalam diskusi International Labour Organization (ILO) Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Negara itu setuju adanya standar baru pekerja platform. namun perlu ada definisi yang berbeda dari pekerja konvensional.
"Dari Norwegia yg mengatakan oke standar yang dibikin ILO setuju, Norwegia meminta ada definisi baru keberadaan teman-teman berbeda dengan konvensional pekerja jadi UU. Bisa jadi opsi juga. Pekerjaan baru dengan mengubah pola baru itu dengan ekonomi digital bukan sesuatu yang tidak mungkin," ujarnya.
Usulan Aplikator Soal LLAJ
Sementara itu, tiga pemain ride hailing menyampaikan pandangannya soal RUU LLAJ. Presiden PT Goto Gojek Tokopedia, Chaterine Hindra Sutjahyo, menyarankan roda dua didefinisikan sebagai transportasi penumpang yang belum diatur dalam aturan sebelumnya.
"Tapi kalau masukan kami di sini adalah untuk roda dua dan sesuai dengan kondisi Indonesia yang sangat unik, ini diperkenankan, diperbolehkan untuk mengangkut penumpang," jelas Catherine.
Dia juga menambahkan pentingnya adanya aturan soal keamanan, karena penting ada standarisasi dan jaminan keselamatan untuk para driver.
Selain itu, roda dua diminta bisa dimaksimalkan sebagai layanan first mile dan last mile, yakni untuk mengantar penumpang untuk naik dan setelah turun dari transportasi umum.
Sementara itu Kertapradana, Director untuk Commercial and Business Development Grab Indonesia, mengatakan ingin UU LLAJ yang baru bisa mengakui platform sebagai perusahaan aplikasi yang menyediakan platform kepada masyarakat untuk mendapatkan dan menyediakan layanan transportasi. Selain itu juga mempertimbangkan model bisnis sharing ekonomi untuk mengakomodasi kendaraan sebagai aset pribadi.
"Peraturan RUU LLAJ meng-capture kondisi model bisnis yang ada saat ini telah terbukti berhasil memajukan ekosistem layanan transportasi dan pengantaran digital. yakni memperbolehkan platform untuk bekerja sama tidak hanya dengan koperasi dan badan hukum, namun juga dengan individu dan UMKM dalam menyediakan layanan transportasi yang terjangkau bagi masyarakat," kata dia.
Head of Legal Departement Maxim Indonesia, Dwi Putratama menyoroti beberapa hal. Misalnya terkait status hukum pengemudi transportasi online selaku mitra yang harus diberikan kepastian hukum karena saat ini sifatkan masih terikat secara perdata.
"Maxim mendorong agar regulasi di kemudian hari dapat lebih jelas dan inklusif diterapkan untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Status hubungan kemitraan tersebut perlu dan sudah semestinya dimasukkan dan ditegaskan dalam rancangan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan," jelas Dwi.
Ia juga menyoroti soal perbedaan tarif di berbagai daerah karena ditetapkan SK Gubernur. Pengaturan tarif ini seharusnya dilakukan secara konkret, termasuk terkait formulasi biaya.
"Oleh karena itu, kami mengusulkan juga adanya sentralisasi regulasi tarif layanan roda empat. Di mana biaya operasional kendaraan atau BOK dan tarif dalam pembagian zonasi haruslah dikembalikan serta ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk mencegah disparitas antar daerah," ujarnya.
Selain itu, Maxim juga mengusulkan adanya badan independen yang dibentuk untuk pemerintah. Badan ini bertugas mengatur, mengawasi dan memberikan solusi bagi para perusahaan transportasi berbasis aplikasi.
Dengan adanya badan itu, industri diharapkan lebih terkoordinasi. Termasuk tidak tumpang tindih antar kementerian dan kelembagaan, di mana saat ini layanan ojek online berada di bawah tiga kementerian yakni Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan.
"Dengan adanya badan atau organisasi ini diharapkan operasional industri transportasi berbasis aplikasi menjadi lebih terkoordinasi dan tidak tumpang-tindih antara berbagai kementerian dan kelembagaan," kata dia.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini: