Jakarta, CNBC Indonesia - Kebutuhan listrik yang tinggi dari data center kecerdasan buatan (AI) yang boros energi mendorong kemunculan banyak startup di bidang geothermal.
Meta (induk usaha Facebook, Instagram, dan WhatsApp) dan Alpahabet (induk usaha Google), menurut Reuters, sama-sama memiliki kerja sama dengan startup yang memproduksi energi geothermal untuk menyediakan pasokan listrik ke data center mereka.
Operator data center lain juga berlomba berebut pasokan energi bersih yang dibutuhkan untuk menunjang proses komputasi AI.
"Kami percaya geothermal, berbarengan dengan gas alam yang berlimpah, bisa menjadi bagian dari bauran energi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan," kata CTO Devon Energy, Trey Lowe. Devon Energy adalah produsen shale gas dan investor di startup geothermal Fervo Energy.
Geothermal digaungkan sebagai cara lebih cepat untuk memproduksi listrik bebas karbon dibanding nuklir, serta tanpa sela seperti angin dan surya. Namun, startup masih berhadapan dengan biaya awal yang tinggi, terutama untuk pengeboran serta perizinan yang jauh lebih panjang.
Akibatnya, investasi ke proyek panas bumi cenderung terbatas. Analis memperkirakan pembiayaan untuk proyek geothermal sejak 2020 baru sekitar US$ 700 juta.
Di sisi lain, produsen shale oil (sering disebut sebagai minyak serpih) seperti Chevron, Diamondback Energy, dan Exxon Mobil malah mendorong penggunaan gas alam sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang bebas emisi.
"Secara umum, ketertarikan datang dari produsen migas kecil dan perusahaan layanan. Kami berdiskusi juga dengan Chevron dan Sehll, tetapi mereka sepertinya cenderung ke wait and watch," kata Cindy Taff, CEO startup Sage Geosystem, yang mengembangkan teknologi penyimpanan energi dan geothermal di lokasi jauh di bawah permukaan bumi.
Sage baru-baru ini menggalang pendanaan US$ 30 juta dari produsen shale gas Expand Energy dan berencana membuka ronde pendanaan Seri B pada Januari.
Pada Desember, startup asal Colorado bernama Gradient Geothermal yang mengembangkan cara menghasilkan energi geothermal menggunakan infrastruktur minyak dan gas, mengumumkan bahwa mereka membantu perusahaan migas Chord Energy dalam membangkitkan listrik di salah satu ladang migas mereka di North Dakota.
COO Gradient Johanna Ostrum menyatakan perusahaan energi kecil dan menengah tertarik untuk menggunakan energi panas bumi untuk sumber pembangkit listrik untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual ke publik.
Perusahaan geothermal kini sedang berusaha agar bisa lebih kompetitif secara biaya Rerata biaya listrik (LCOE) proyek panas bumi di Amerika Serikat adalah sekitar US$ 64 per MWh. Biaya ini lebih kompetitif dibandingkan dengan sumber energi dispatchable (bisa dimatikan dan dihidupkan) lain seperti pembangkit listrik tenaga gas dan uap (US$ 77 per MWh) dan nuklir (US$ 182 per MWh)
Menurut Bryant Jones, Direktur Eksekutif Geothermal Rising ada sekitar 60 startup baru di bidang panas bumi yang muncul dalam 2 tahun terakhir. Sebanyak 10 dari 22 startup panas bumi yang didirikan di AS antara 2016 dan 2022 bermarkas di Texas.
Arus investasi ke startup panas bumi juga terbantu oleh harga komoditas yang makin rendah. Perusahaan shale gas dan shale oil berusaha mencari sumber pendapatan baru dengan berinvestasi di panas bumi.
(dem/dem)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Tugas Data Center Dukung Transformasi Digital RI Era Prabowo
Next Article Bos BDx Indonesia: Waktunya Data Warga RI Dibawa Pulang