Jakarta, CNBC Indonesia - Raksasa otomotif Jerman, Volkswagen (VW), memutuskan untuk hengkang dari wilayah Xinjiang, China. Hal ini terjadi setelah perusahaan tersebut selama bertahun-tahun mendapat tekanan untuk meninggalkan kehadirannya di wilayah itu karena adanya isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis Uighur.
Dalam sebuah pernyataan, Rabu (27/11/2024), VW dan mitra Chinanya, SAIC, akan menjual pabrik di Xinjiang kepada Shanghai Motor Vehicle Inspection Certification (SMVIC), sebuah unit usaha milik perusahaan BUMN Shanghai Lingang Development Group. Nantinya, seluruh karyawan akan pindah secara otomatis ke SMVIC.
Berdasarkan ketentuan kesepakatan, yang rincian keuangannya tidak diungkapkan, SMVIC juga akan mengambil alih jalur uji SAIC/VW di Turpan, Xinjiang, dan Anting di Shanghai. Dengan begini, VW tidak akan lagi memiliki kehadiran di Xinjiang.
Produsen itu menyebut bahwa keputusan untuk menjual pabrik itu dibuat karena alasan ekonomi. Meski begitu, sejumlah pihak menilai positif hal ini karena dapat menghindarkan perusahaan dari pelanggaran HAM
"Ini adalah langkah yang sudah lama tertunda yang menunjukkan bahwa HAM tidak dapat dinegosiasikan," kata Janne Werning dari investor VW Union Investment.
Di sisi lain, para pemilik saham VW, termasuk negara bagian Niedersachsen Jerman yang menjadi pemegang saham terbesar kedua Volkswagen, menyambut baik penjualan tersebut.
"Pemegang saham 20 teratas Deka Investment, salah satu dari beberapa investor, juga telah menekan produsen mobil itu untuk menarik diri dari Xinjiang. Keluarnya VW akan mengakhiri diskusi kontroversial dengan dampak finansial yang minimal," ujar pernyataan Deka Investment yang diterima Reuters.
Pabrik Xinjiang, yang dibuka pada tahun 2013 dan sebelumnya merakit kendaraan Santana, telah menyusut signifikansinya dalam beberapa tahun terakhir setelah produsen mobil itu melakukan PHK.
Fasilitas itu memiliki kapasitas untuk memproduksi 50.000 unit per tahun, tetapi belum memproduksi mobil apa pun sejak 2019 dan hanya menjadi jalur pemeriksaan dan uji kendaraan.
Sementara itu, penjualan ini terjadi saat mitra VW, SAIC, menjadi batu sandungan dalam perdagangan China dengan Eropa dan Amerika Serikat (AS). SAIC bahkan baru-baru ini menanggung tarif Uni Eropa terbesar sebesar 35,3%, di atas bea masuk impor 10% yang sudah ada.
Produsen mobil China biasanya berupaya menjalin kerja sama dengan produsen mobil Barat karena mereka diuntungkan dengan akses ke pengalaman teknis mereka yang mendalam. Pada gilirannya, VW dan perusahaan lain telah memanfaatkan keahlian EV China yang luas saat mereka beralih dari mesin bensin dan diesel ke tenaga listrik.
Produsen mobil asing yang berproduksi di China sebelumnya diharuskan membentuk Joint Venture (JV) dengan produsen mobil China. Beijing mulai melonggarkan aturan ini pada tahun 2018, yang memungkinkan kepemilikan asing penuh atas perusahaan mobil penumpang sejak tahun 2022.
Namun, VW masih memutuskan untuk melakukan JV dengan sejumlah perusahaan Negeri Panda. Volkswagen mengatakan bahwa JV tersebut bertujuan untuk merilis 18 model baru pada tahun 2030.
Selain dengan SAIC, VW juga memiliki JV dengan FAW, JAC Automobile Group, dan baru-baru ini dengan perusahaan rintisan khusus kendaraan listrik Xpeng. Dengan Xpeng, VW mengembangkan model-model baru yang lebih menyasar konsumen China, dengan target lebih dari 30 model listrik atau hibrida baru pada tahun 2030.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Mobil Baru Mahal, Masyarakat Lebih Pilih Mobil Bekas
Next Article Mobil Ini Menuju Kematian, Mau Tutup Pabrik di Jerman dan di RI Laku 2