Jakarta, CNBC Indonesia - Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) telah meningkatkan ancaman tarif yang lebih tinggi terhadap China. Namun, Negeri Tirai Bambu kemungkinan bukan satu-satunya negara Asia yang terkena dampak.
Hal ini dikemukakan oleh Kepala Ekonom Asia-Pasifik Goldman Sachs Andrew Tilton dalam sebuah catatan baru-baru ini.
Menurutnya, meskipun defisit perdagangan bilateral AS dengan China telah sedikit menurun sejak pemerintahan Trump, defisit dengan eksportir Asia lainnya telah meningkat secara signifikan dan mungkin berada di bawah pengawasan yang lebih ketat.
"Dengan Trump dan beberapa calon yang mungkin ditunjuk berfokus pada pengurangan defisit bilateral, ada risiko bahwa - dalam semacam cara "whack-a-mole" - defisit bilateral yang meningkat pada akhirnya dapat mendorong tarif AS pada ekonomi Asia lainnya," katanya, seperti dikutip CNBC International, Senin (11/11/2024).
Tarif adalah pajak atas barang impor, tetapi tidak dibayarkan oleh negara pengekspor. Jadi tarif AS akan dibayarkan oleh perusahaan yang ingin mengimpor produk ke negara tersebut, sehingga meningkatkan biaya mereka.
"Korea, Taiwan, dan khususnya Vietnam telah mengalami keuntungan perdagangan yang besar dibandingkan AS," kata Tilton. Ia menambahkan bahwa posisi Korea dan Taiwan mencerminkan "posisi istimewa" mereka dalam rantai pasokan semikonduktor, sementara Vietnam telah diuntungkan dari pengalihan perdagangan dari China.
Pada 2023, surplus perdagangan Korea Selatan dengan AS dilaporkan mencapai rekor US$44,4 miliar. Ini menjadi surplus terbesar dengan negara mana pun, dengan ekspor mobil mencapai hampir 30% dari semua pengiriman ke AS.
Sementara itu, ekspor Taiwan ke AS pada kuartal pertama tahun 2024 mencapai rekor tertinggi sebesar US$24,6 miliar, meningkat 57,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan pertumbuhan ekspor terbesar berasal dari teknologi informasi dan produk audio-visual.
Adapun, surplus perdagangan Vietnam dengan AS antara Januari dan September mencapai US$90 miliar.
India dan Jepang juga mengalami surplus perdagangan dengan AS, dengan surplus Jepang tetap relatif stabil dan surplus India meningkat secara moderat dalam beberapa tahun terakhir.
Tilton memperkirakan ke depan, mitra dagang Asia ini mungkin mencoba menurunkan surplus ini dan "mengalihkan perhatian" melalui berbagai cara, seperti mengalihkan impor ke AS jika memungkinkan.
"Kebijakan perdagangan adalah hal yang paling penting bagi Trump bagi Asia Berkembang dalam masa jabatan keduanya sebagai presiden AS," tulis analis Barclays Bank dalam catatan tertanggal Jumat.
Tarif yang diusulkan Trump kemungkinan besar akan menimbulkan "rasa sakit yang lebih besar" pada ekonomi yang lebih terbuka di kawasan tersebut, di mana Taiwan lebih rentan terhadap ancaman itu daripada Korea atau Singapura, tulis ekonom bank yang dipimpin oleh Brian Tan tersebut.
"Kami melihat Thailand dan Malaysia di tengah-tengah, dengan Thailand diperkirakan akan menerima pukulan yang sedikit lebih besar," tambah catatan itu.
Data AS menunjukkan bahwa defisit perdagangan AS dengan China menyempit menjadi US$279,11 miliar pada tahun 2023, dari US$346,83 miliar pada tahun 2016.
Terlepas dari tarif, Goldman masih memperkirakan tekanan berkelanjutan untuk relokasi rantai pasokan tertentu dari China ke Asia Tenggara, khususnya India atau Meksiko.
Presiden terpilih AS Trump telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan tarif menyeluruh mulai dari 10% hingga 20% pada semua impor, bersama dengan tarif tambahan sebesar 60% hingga 100% pada produk yang diimpor dari China. Goldman memperkirakan AS akan mengenakan tarif tambahan rata-rata 20% pada produk China pada paruh pertama tahun 2025.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Demi Hentikan Fentanil,Trump Ancam China dan Meksiko
Next Article 'Perang' Eropa vs China Makin Panas, Ini Balas Dendam Baru Xi Jinping