Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) akan mengadakan pemilihan presiden (Pilpres) pada Selasa (5/11/2024) waktu setempat atau Rabu (6/11/2024) waktu RI. Kontestasi ini akan mempertemukan Donald Trump dan Kamala Harris.
Trump merupakan mantan presiden berusia 78 tahun dari Partai Republik. Ia baru saja selamat dari dua upaya pembunuhan beberapa minggu setelah menjadi mantan presiden AS pertama yang dinyatakan bersalah atas kejahatan oleh juri New York.
Di sisi lain, Kamala Harris, wakil presiden berusia 60 tahun, naik menjadi kandidat utama dari Partai Demokrat pada Juli lalu setelah Presiden Joe Biden mundur. Hal ini akibat performa debat yang kurang memuaskan.
Sebenarnya menurut University of Florida's Election Lab, lebih dari 80 juta warga AS telah memberikan suara mereka dalam pemungutan awal. Baik Kamala maupun Trump telah berupaya meminta warga yang belum memilih untuk segera memilih di TPS yang telah ditentukan.
Lalu bagaimana fakta-faktanya:
1.Sistem Pemilihan?
Berdasarkan sistem AS, warga negara tidak memilih pemimpin mereka secara langsung. Sebaliknya, surat suara mereka memilih 538 anggota kelompok yang disebut Electoral College, yang kemudian memilih presiden dan wakil presiden.
Setiap negara bagian memberikan suara Electoral College untuk kandidat yang memenangkan suara terbanyak. Negara bagian yang lebih besar, dengan lebih banyak perwakilan di Kongres AS, mendapatkan bagian yang lebih besar dari 538 suara Electoral College yang ditawarkan.
Kamala Harris dan saingannya Trump akan bersaing untuk mendapatkan 270 suara Electoral College yang sangat penting yang dapat menjamin mereka kunci ke Ruang Oval. Namun dengan persaingan tahun ini yang semakin ketat, para ahli menunjukkan adanya risiko penundaan dan komplikasi yang semakin meningkat seperti gugatan hukum atas penghitungan suara.
2.6 Negara Bagian yang Menentukan?
Sebenarnya ada enam negara bagian yang menentukan di Pemilu AS. Hal ini karena negara-negara tersebut dikuasai swing voters aliasi pemilih yang belum menentukan pilihan.
Mereka adalah Arizona, Georgia, Michigan. Lalu ada Nevada, North Carolina, Penssuylvania, dan Wisconsin.
3.Kapan Pemenang Diketahui?
Pemungutan suara pertama ditutup pada pukul 06.00 sore waktu bagian timur AS sekitar pukul 06.00 pagi WIB. Tetapi jika persaingannya ketat, perlu waktu berhari-hari sebelum pemenang diproyeksikan.
Pada tahun 2020, media AS mengumumkan kandidat Demokrat Joe Biden sebagai pemenang pada tanggal 7 November, meskipun pemungutan suara ditutup empat hari sebelumnya. Di sisi lain, pada tahun 2016 dan 2012, pemilih memiliki waktu tunggu yang lebih singkat.
Setelah suara diberikan, pejabat pemilihan lokal, yang mungkin ditunjuk atau dipilih, akan memproses suara dan menghitungnya. Metode penghitungan bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Banyak negara bagian telah mengubah undang-undang pemilu untuk memungkinkan surat suara melalui pos atau luar negeri dipersiapkan untuk penghitungan sebelum Hari Pemilihan. Penghitungan suara yang sangat ketat juga dapat memicu penghitungan ulang.
Perlu diketahui, Pada tanggal 25 Desember, sertifikat pemilu setiap negara bagian harus sudah diterima oleh Presiden Senat, yang juga merupakan Wakil Presiden. Pada tanggal 6 Januari 2025, Kongres menghitung dan mengkonfirmasi hasilnya, sebelum presiden baru dilantik pada tanggal 20 Januari tahun depan.
4.Peningkatan Pengamanan
Keamanan untuk Hari Pemilihan pada hari Selasa ditingkatkan ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini mengingat kekhawatiran atas kemungkinan kerusuhan sipil, kecurangan pemilu, atau kekerasan terhadap petugas pemilu.
Negara bagian Oregon, Washington, dan Nevada telah mengaktifkan Garda Nasional. FBI telah mendirikan pos komando untuk memantau ancaman, dan keamanan telah ditingkatkan di banyak dari hampir 100.000 tempat pemungutan suara di negara tersebut.
"Sembilan belas negara bagian, termasuk medan pertempuran utama pemilihan Arizona, Michigan, dan Nevada, telah memberlakukan undang-undang peningkatan keamanan pemilu sejak tahun 2020," menurut National Conference of State Legislatures.
Runbeck Election Services, yang menyediakan teknologi keamanan untuk operasi pemungutan suara, mengonfirmasi kepada AFP pada hari Senin bahwa mereka telah memesan sekitar 1.000 panic button untuk klien yang mencakup fasilitas pemilihan dan pekerjanya. Perangkat kecil ini dikenakan sebagai tali gantungan atau ditaruh di saku dan dipasangkan dengan ponsel pengguna dan menghubungi penegak hukum atau otoritas lain jika terjadi keadaan darurat.
5.Siapa yang Unggul Survei di AS?
Sejumlah survei mencatatkan perbedaan tipis antara kedua calon di rentang 1% hingga 3%. Meski begitu, Kamala unggul tipis.
Berikut survei yang dirangkum Forbes Senin:
- ABC/Ipsos: Kamala Harris 49% Vs Donald Trump 46%
- Morning Consult: Kamala Harris 49% Vs Donald Trump 47%
- Economist/YouGov: Kamala Harris 49% Vs Donald Trump 47%
- Reuters/Ipsos: Kamala Harris 44% Vs Donald Trump 43%
- CNBC Survey: Kamala Harris 46% Vs Donald Trump 48%
- Wall Street Journal : Kamala Harris 45% Vs Donald Trump 47%
6.Siapa yang Diinginkan Dunia Jadi Presiden AS?
Pesta demokrasi AS juga mendapat tanggapan dunia. Sejumlah pemimpin negara mengutarakan pendapat mereka tentang siapa yang laik menang.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyatakan dengan nada bercanda bahwa lebih memilih Harris sebagai presiden. Namun, banyak tanda yang menunjukkan bahwa Putin sebenarnya mendukung kemenangan Trump.
"Putin akan menyukai Trump sebagai presiden karena berbagai alasan," kata Timothy Ash, seorang rekan peneliti di Program Rusia dan Eurasia di Chatham House, kepada Al Jazeera.
Putin yang membenci sistem demokrasi pasar liberal Barat, berpikir bahwa Trump akan melanjutkan apa yang ia tinggalkan dulu. Di mana Trump justru menabur perpecahan dan kekacauan di internal negara Barat dengan merongrong lembaga-lembaga seperti NATO dan Uni Eropa.
"Saya pikir Putin melihat Trump dan melihat bayangan cermin dirinya sendiri, seorang otoriter, sosiopat. Ia mungkin berpikir bahwa ia memahami Trump," tambah Ash.
Di China, Presiden Xi Jinping memang belum memberikan dukungan secara terbuka. Seperti halnya ke Rusia, Partai Demokrat dan Partai Republik AS telah mengambil sikap keras terhadap China.
Selama masa kepresidenan Trump, perang dagang terjadi dengan China, di mana AS memberlakukan tarif impor China senilai US$ 250 miliar pada tahun 2018. Beijing membalas dengan mengenakan tarif impor AS senilai US$ 110 miliar.
Sepertinya Trump tidak akan mundur dari hal itu jika terpilih, tetapi Partai Demokrat juga dapat menggalang kekuatan untuk menentang pengaruh China yang semakin besar di seluruh dunia.
Ketika Joe Biden menjadi presiden, ia mempertahankan tarif Trump di mana Biden mengumumkan kenaikan tarif untuk produk-produk tertentu buatan China September. Jika Harris menang, ia diyakini akan tetap konsisten dengan kebijakan Biden terhadap China.
Dari Israel, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu secara luas diyakini condong ke arah kemenangan Trump. Netanyahu dan Trump memiliki hubungan yang baik selama masa jabatan pertama mantan presiden AS tersebut.
Pada tahun 2019, di Dewan Israel-Amerika, Trump mengatakan "Negara Yahudi tidak pernah memiliki teman yang lebih baik di Gedung Putih daripada presiden Anda". Netanyahu, dalam sebuah pernyataan pada tahun 2020, mengatakan bahwa Trump adalah "teman terbaik yang pernah dimiliki Israel di Gedung Putih".
Namun, hubungan antara Trump dan Netanyahu memburuk setelah Biden terpilih. Ketika Biden dilantik, Netanyahu mengucapkan selamat kepadanya. Trump mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh hal ini.
Meski begitu, Netanyahu telah berusaha untuk menghidupkan kembali ikatan lama. Selama kunjungan ke AS pada bulan Juli tahun ini, Netanyahu mengunjungi Trump di kediamannya di Mar-a-Lago, Florida.
Sementara itu, untuk Arab Saudi, peneliti International Crisis Group, Dina Esfandiary, mengatakan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS)memiliki sejumlah situasi yang perlu diperhitungkan.
Meski dahulu Trump pernah membantu Saudi untuk memblokade Iran, Dina menyebut agenda besar Trump untuk menormalisasi hubungan Israel-Saudi mungkin akan jadi kendala.
"Menurut saya, secara umum, Saudi lebih menginginkan kemenangan Trump. Di permukaan, ia akan lebih mendukung mereka dan tidak terlalu kritis terhadap mereka. Namun, mereka khawatir tentang beberapa hal yang tidak terduga yang mungkin dilakukannya?," katanya.
7.Suara Pemilih Arab Amerika
Mengutip laporan Al-Jazeera, sebagian Arab Amerika kini memberi dukungan terhadap kandidat Partai Hijau, Jill Stein. Ia kini populer di kalangan komunitas Arab dan Muslim di tengah serangan Israel ke Gaza dan Lebanon, menurut sejumlah jajak pendapat publik.
Meskipun kandidat dari Partai Hijau sangat kecil kemungkinannya untuk memenangkan kursi kepresidenan, para pendukungnya memandang memilihnya sebagai pilihan prinsip. Hal itu dapat menjadi landasan bagi kelangsungan kandidat dari pihak ketiga di masa depan.
"Dia merupakan contoh terbaik dari posisi kami melawan genosida," kata Abdel Salam tentang kandidat dari Partai Hijau, yang vokal dalam mendukung hak-hak Palestina.
Stein juga mendapat dukungan dari Komite Aksi Politik Arab dan Muslim Amerika (AMPAC). Ini adalah sebuah kelompok politik yang berbasis di Dearborn.
"Setelah berdialog ekstensif dengan tim kampanye Harris dan Trump, kami tidak menemukan komitmen untuk mengatasi kekhawatiran mendesak komunitas kami, khususnya krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan bulan lalu.
"Perlunya gencatan senjata tetap menjadi hal yang terpenting bagi para pemilih Muslim dan Arab Amerika, namun tidak ada kampanye yang menawarkan solusi yang tepat," tambah kelompok itu lagi.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Detik-Detik Menuju Pilpres AS, Trump Vs Kamala Siapa Unggul?
Next Article 'Game of Thrones' Kamala Harris VS Donald Trump, Siapa Unggul Survei?