Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol mengambil manuver tiba-tiba untuk menerapkan darurat militer di negara itu, Selasa malam waktu setempat. Ini merupakan pertama kalinya dalam hampir 50 tahun Negeri Ginseng menerapkan hal semacam itu.
Meski begitu, dekrit ini gagal enam jam setelah diberlakukan oleh Yoon. Hal ini disebabkan oleh keputusan 190 dari 300 anggota parlemen Majelis Nasional yang menolak dekrit tersebut.
Berikut perkembangan serta fakta-fakta yang meliputinya sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (4/12/2024).
1. Sosok Yoon Suk Yeol: Dari Nol hingga Berkuasa
Yoon adalah pendatang baru dalam dunia politik saat ia memenangkan kursi kepresidenan. Ia menjadi terkenal secara nasional setelah mengajukan tuntutan kasus korupsi terhadap mantan Presiden Park Geun Hye yang dipermalukan pada tahun 2016.
Pada tahun 2022, politikus kelahiran 1960 ini mengalahkan lawannya dari partai liberal Lee Jae Myung dengan selisih kurang dari 1% suara. Saat itu, Yoon dianggap sebagai tokoh yang dapat membawa perubahan besar bagi Korsel.
"Mereka yang memilih Yoon percaya bahwa pemerintahan baru di bawah Yoon akan mengejar nilai-nilai seperti prinsip, transparansi, dan efisiensi," kata Don S Lee, profesor madya administrasi publik di Universitas Sungkyunkwan.
Selama memimpin, Yoon telah memperjuangkan sikap agresif terhadap Korea Utara (Korut). Ia bahkan meningkatkan kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) menuju level 'basis nuklir' sebagai upaya untuk menahan ambisi Pyongyang.
2. Mengumpat dan Skandal
Yoon bergelut dengan skandal. Selama kampanye 2022 misalnya, ia harus menarik kembali komentarnya yang sempat mengatakan Presiden Chun Doo Hwan, yang mengumumkan darurat militer dan bertanggung jawab atas pembantaian para pengunjuk rasa pada tahun 1980, sebagai sosok 'pandai berpolitik'.
Ia pun kedapatan mengumpat, menggunakan mikrofon sambil mengumpatkan kata 'idiot' di depan anggota parlemen AS. Rekaman itu dengan cepat menjadi viral di Korsel.
Selain kesalahan, Yoon juga dilanda skandal. Sebagian besar skandal berpusat di sekitar istrinya, Kim Keon Hee, yang dituduh melakukan korupsi dan penyalahgunaan pengaruh, terutama dugaan menerima tas Dior dari seorang pendeta.
Pada bulan November, Yoon meminta maaf atas nama istrinya sambil menolak seruan untuk melakukan penyelidikan atas aktivitasnya. Namun, ia menolak penyelidikan yang lebih luas, yang menjadi permintaan partai-partai oposisi.
Meski begitu, popularitasnya sebagai presiden masih belum stabil. Pada awal November, peringkat persetujuannya anjlok hingga 17%, rekor terendah sejak ia menjabat.
3. Terpojok di Depan Oposisi
Pada bulan April, Partai Demokrat yang beroposisi memenangkan pemilihan parlemen dengan telak. Ini menimbulkan kekalahan telak bagi Yoon dan Partai Kekuatan Rakyatnya.
Dalam laporan BBC News, setelah kemenangan Partai Demokrat, pemerintahannya sejak saat itu tidak dapat meloloskan RUU yang mereka inginkan. Mereka malah dipaksa untuk memveto RUU yang disahkan oleh oposisi liberal.
Pada pekan ini, Partai Demokrat yang beroposisi memangkas 4,1 triliun won (Rp 46 triliun) dari anggaran yang diusulkan pemerintah Yoon sebesar 677,4 triliun won (Rp 7.600 triliun). Sayangnya, hal ini tidak dapat diveto oleh presiden.
4. Darurat Militer dan Korut sebagai 'Kambing Hitam'
Melansir Associated Press (AP News), Yoon mengeluarkan darurat militer dengan menuduh pasukan pro-Korea Utara (Korut) berencana menggulingkan negaranya. Yoon mengatakan sebelumnya bahwa langkah tersebut adalah untuk "mempertahankan Republik Korea yang bebas" dari "kekuatan komunis Korea Utara dan untuk membasmi kekuatan anti-negara pro-Korea Utara yang tidak tahu malu" untuk "melindungi tatanan konstitusional yang bebas".
Dalam pidato yang disiarkan di televisi nasional, Yoon menuduh Partai Demokrat yang beroposisi bersimpati dengan Korut dan menggunakan mayoritasnya di Majelis Nasional untuk memakzulkan anggota kabinetnya dan memblokir rencana anggarannya. Meskipun tidak ada bukti langsung yang diajukan, Yoon mengangkat momok Korut sebagai kekuatan yang tidak stabil.
Dalam pengumuman itu, seorang jenderal angkatan darat Park An Soo, ditunjuk sebagai komandan darurat militer. Ia telah melarang "semua kegiatan politik," termasuk unjuk rasa warga.
Dalam dekrit baru yang juga melarang kegiatan buruh dan penyebaran "berita palsu", Park mengatakan "semua media berita dan publikasi" akan dikenai perintah darurat militer. Penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah pengadilan jika dekrit tersebut dilanggar.
5.Dampak Internasional
Langkah Yoon juga menimbulkan kekhawatiran internasional. Mason Richey, profesor di Universitas Studi Luar Negeri Hankuk di Seoul, mengatakan bahwa deklarasi darurat militer membuat Korsel tampak tidak stabil.
"Ini akan berdampak negatif pada pasar keuangan dan posisi diplomatik Korea Selatan di dunia," ujarnya.
Seorang diplomat Barat, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan langkah ini akan mempersulit pembicaraan tentang keterlibatan Korsel dalam upaya diplomatik multinasional. Krisis ini menempatkan Yoon dalam posisi politik yang genting, dengan beberapa pengamat menyebutkan kemungkinan pemakzulan.
Partainya sendiri, PPP, telah mendesak agar Yoon mencabut darurat militer. Han Dong-hoon, mantan orang kepercayaan Yoon yang kini memimpin PPP, juga mengkritik langkah tersebut.
Meski Yoon berhasil menarik kembali deklarasi itu, dampaknya terhadap stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya masih belum bisa diprediksi. Dengan situasi yang terus memanas, masa depan Presiden Yoon dan stabilitas Korea Selatan berada di ujung tanduk.
6.Reaksi Pasar Pasca Darurat Militer
Akibat dekrit darurat militer Yoon, Won, mata uang Korsel, jatuh ke level terendah terhadap dolar dalam dua tahun, anjlok lebih dari 1%. Sementara saham dan dana yang diperdagangkan di bursa yang terdaftar di New York, termasuk Coupang dan iShares MSCI South Korea ETF, juga mengalami penurunan.
7. Menteri-Staf Presiden Resign Massal
Para menteri dan staf pun melakukan pengunduran diri massal. Sesaat setelah adanya darurat militer ini, Kepala Staf Kepresidenan Chung Jin Suk, Penasihat Keamanan Nasional Shin Won Sik, Kepala Staf Kebijakan Sung Tae Yoon, serta tujuh pembantu senior lainnya memutuskan resign dari jabatan.
Di luar Kantor Presiden, Menteri Pertahanan Kim Yong Hyun juga mengajukan pengunduran serupa. Ia mengaku menyesal dengan adanya arahan darurat militer ini.
"Pertama-tama, saya sangat menyesalkan dan bertanggung jawab penuh atas kebingungan dan kekhawatiran yang ditimbulkan kepada publik terkait darurat militer... Saya telah bertanggung jawab penuh atas semua hal yang terkait dengan darurat militer dan telah mengajukan pengunduran diri saya kepada presiden," kata Kim dalam sebuah pernyataan.
8. Pemakzulan di Depan Mata?
Tidak jelas apa yang terjadi sekarang pasca darurat militer dibatalkan dan apa konsekuensinya bagi Yoon. Walau begitu, muncul laporan bahwa anggota parlemen sedang bergerak untuk memakzulkannya sebagai presiden.
Proses yang relatif mudah ini akan membutuhkan lebih dari dua pertiga dari 300 anggota Majelis Nasional yang memberikan suara untuk memakzulkannya, atau setidaknya 201 kursi. Setelah pemakzulan disetujui, akan ada proses peradilan yang diadakan Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan 9 hakim konstitusi.
Jika enam anggota pengadilan memberikan suara untuk mendukung pemakzulan, presiden akan dicopot dari jabatannya. Jika ini terjadi, ini bukan pertama kalinya seorang presiden Korsel dimakzulkan.
Pada tahun 2016, Presiden Park Geun-hye saat itu dimakzulkan setelah dituduh membantu seorang teman melakukan pemerasan. Pada tahun 2004, presiden lainnya, Roh Moo-hyun, dimakzulkan dan diskors selama dua bulan.
Pakar dari Universitas Ewha, Leif-Eric Easley, berpendapat bahwa hal ini mungkin lebih merusak reputasi Korsel sebagai negara demokrasi daripada kerusuhan 6 Januari di AS. Pasalnya, hal ini tidak perlu dilakukan karena berdampak sangat luas.
"Pernyataan darurat militer Yoon tampaknya merupakan tindakan yang melampaui batas hukum dan salah perhitungan politik, yang secara tidak perlu membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan," katanya kepada BBC News.
"Ia terdengar seperti politisi yang terkepung, mengambil langkah putus asa melawan skandal yang meningkat, hambatan institusional, dan seruan untuk pemakzulan, yang semuanya kini kemungkinan akan meningkat."
9. Respons AS-Rusia
Dua negara adidaya, AS dan Rusia, ikut buka suara terkait adanya hal ini. Departemen Luar Negeri AS mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka mengamati situasi di Korsel dengan 'kekhawatiran yang mendalam'.
"Harapan kami bahwa masalah ini akan diselesaikan secara damai dan sesuai dengan aturan hukum. Seoul adalah mitra penting kami dan bahwa aliansi antara AS-Korsel tetap kuat," ujar Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel.
Hal ini berbeda dengan Rusia, yang memiliki hubungan yang panas dengan Seoul setelah perang Ukraina. Meski belum resmi mengeluarkan sikap jelas, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova dalam akun Telegramnya menyamakan apa yang terjadi di Korsel dengan Georgia.
Diketahui, di Georgia, terjadi aksi protes warga besar-besaran yang dimotori oleh penolakan Perdana Menteri (PM) Irakli Kobakhidze untuk membicarakan aksesi Georgia ke Uni Eropa hingga 2028 mendatang. Protes warga itu sendiri diiringi oleh kebijakan ketat yang dilakukan oleh aparat, yang kemudian membuat Lithuania, Latvia, dan Estonia menjatuhkan sanksi terhadap Negeri Kaukasus itu.
Dalam tanggapan Zakharova, tindakan dan kebijakan keras Tbilisi itu mirip dengan dekrit darurat militer Korsel yang melarang protes oleh parlemen dan faksi politik, serta penempatan media dalam kendali pemerintah. Maka itu, ia malah bertanya kepada tiga negara Baltik itu terkait apakah mereka mau menjatuhkan sanksi kepada Seoul.
"Apakah sanksi akan dijatuhkan pada Seoul? Atau apakah Korea Selatan akan lebih beruntung daripada Georgia?," tulis Zakharova di Telegram dikutip Russia Today (RT).
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Alasan Presiden Korsel Umumkan Darurat Militer
Next Article Korsel Buka-bukaan soal Hubungan Militer Korut-Rusia, Bikin Ngeri