Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pelaku usaha masih kebingungan dengan regulasi yang bakal dipakai dalam penentuan upah minimum 2025 mendatang. Pasalnya, sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Omnibus Law Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan yang diantaranya mengatur upah.
"Kemarin ada putusan MK terkait judicial review Undang Undang 6 tahun 2023 lalu, ini juga kita belum paham gambaran seperti apa saat penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten-kota," ungkap Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan & Pengembangan SDM Badan Pengurus Propinsi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (BPP API), Nurdin Setiawan kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/11/2024).
Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) berharap perlu ada regulasi khusus dalam pengupahan khusus untuk industri padat karya yang terkena tekanan kuat belakangan ini. Jika tidak memungkinkan harapannya tetap ketentuan perumusan upah minimum dalam PP 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.
Adapun rumusan pengupahan yang diatur dalam PP 51 Tahun 2023 yaitu inflasi + (pertumbuhan ekonomi X indeks tertentu/α)
"Dalam Pengupahan harapannya pemerintah bisa komit menjaga PP 51/2023 sebagai pedoman dalam menentukan rumusan upah minimum di 2025 supaya nggak terjadi ketika sudah tenggelam ini ditenggelamkan," sebut Nurdin.
Foto: Massa buruh dari 14 konfederasi dan federasi serikat buruh tingkat nasional turun ke jalan hari ini, Kamis (24/10/2024) di kawasan Monas dan Sekitar Istana Negara, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Massa buruh dari 14 konfederasi dan federasi serikat buruh tingkat nasional turun ke jalan hari ini, Kamis (24/10/2024) di kawasan Monas dan Sekitar Istana Negara, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Persoalan upah menjadi pembahasan serius bagi pelaku usaha di industri padat karya, pasalnya ini menjadi salah satu biaya operasional terbesar.
"Kenapa kami concern soal pengupahan karena labour insentif udah sampai 18% lebih, dari 18% kita sulit menjaga operasional perusahaan," kata Nurdin.
Di sisi lain pelaku usaha berharap jika ada kebijakan fiskal dari insentif pajak, maka perlu juga dukungan perbankan nasional pada industri padat karya. Ia melihatnya selama ini industri padat karya tidak terlalu menarik perhatian bank dalam pemberian pinjaman.
"Benar pemerintah mau pertumbuhan ekonomi 8%, artinya harus menaikkan daya beli masyarakat, dalam ini masyarakat tekstil, jangan sampai daya beli naik tapi turunkan daya saing perusahaan yang sekarang nggak baik-baik aja, jadi perlu penyelamatan, gimana perlindungan ke TPT termasuk menghindari PHK karyawan," sebut Nurdin.
(fys/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sritex Pailit, Nasib Industri Tekstil di Ujung Tanduk
Next Article Buruh Curhat Gaji Selalu Nombok, Minta ke Prabowo UMP 2025 Naik 8-10%