Jakarta, CNBC Indonesia - Kelompok buruh melontarkan kekesalannya dan mengeluarkan pernyataan keras, mencurigai pemerintah bakal tak mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil UU Cipta Kerja.
Hal itu karena buruh mengaku mendapat bocoran, pemerintah akan menerbitkan aturan terkait ketenagakerjaan, termasuk pengupahan, yang tak sesuai Putusan MK. Buruh pun mengingatkan agar pemerintah mematuhi putusan tersebut.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Putusan tersebut atas perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
"Keputusan MK berlaku seketika harus dilaksanakan, nggak bisa dibanding dan harus dilaksanakan termasuk pada pasal terkait PKWT, tenaga kerja asing, pengupahan dan lain-lain. Dua federasi terbesar KSPSI-KSPI mengeluarkan sikap untuk memberi peringatan kepada Menaker (Menteri Ketenagakerjaan), juga Menko Ekonomi yang tiba-tiba rakor di hari Minggu luar biasa buat kami semua. Saya, Bung Said Iqbal (Presiden KSPI) juga kaget ada rakor hari Minggu," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea saat konferensi pers, Senin (4/11/2024).
"Saya dapat info dari anggota kami di Dewan Pengupahan Nasional KSPSI, mereka diajak rapat marathon zoom meeting dari kemarin sudah lakukan rapat marathon. Dan arahnya tidak jauh dari PP 51, sedangkan PP 51 gugur sendirinya ketika aturan di atasnya dibatalkan MK, jadi nggak konstitusional lagi," tambahnya.
Dia juga mempertanyakan sikap pengusaha yang menyebut PP 51 tidak dicabut meski sudah ada Putusan MK.
Dia pun mengungkapkan, adanya rencana pemerintah mengeluarkan aturan baru. Abdul Gani mengatakan, berdasarkan bocoran yang dia terima, aturan itu bukan tidak mungkin akan memicu kemarahan buruh.
"Karena itu saya dan bung Iqbal koordinasi segera teman-teman Tripartit nasional. Sekarang lagi kejar-kejaran karenanya Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) baru akan keluar siang. Makanya saya kontak dirjen, beri pesan menteri agar taat putusan MK itu yang dilakukan buruh bertahun-tahun, ketika berjuang di jalanan itu jalur legal 4 tahun perjalanan panjang, saya nggak bayangkan kemarahan buruh apabila konstitusi nggak diikuti," kata Abdul Gani.
"Kami buruh taat konstitusi, mengajukan gugatan berjuang bertahun-tahun, berjuang di jalanan, di MK, akhirnya kita menangkan 21 pasal tersebut tapi Apindo menolak keputusan MK," tukasnya.
Hal senada disampaikan Said Iqbal.
"Karena norma hukum dicabut maka turunan hukum yang ada nggak berlaku karena norma di atasnya dicabut, bertentangan UU 1945 dan ngga punya kekuatan hukum tetap. Jadi Peraturan Menteri tidak berlaku, PP 51 2023 juga ngga berlaku. Kami minta APINDO jangan provokasi buruh untuk perlawanan keras dengan minta diperlakukan PP51/2023," ucapnya.
Putusan MK
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Putusan tersebut atas perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
MK juga meminta pembentuk Undang-Undang (UU), dalam hal ini pemerintah, segera membentuk UU ketenagakerjaan yang baru. Dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Demikian mengutip situs resmi MK, Jumat (1/11/2024).
Dalam keputusan itu, salah satu dalil yang ditetapkan menyangkut penetapan upah pekerja, yaitu atas pasal 88 UU Cipta Kerja.
MK menyatakan, Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan "Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua".
Dan, menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, "Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, "dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.
Menyatakan frasa "dalam keadaan tertentu" dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan "Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan".
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pemerintah Respons Putusan MK Soal UU Cipta Kerja
Next Article Ramai-Ramai Buruh Tolak Tapera: Nabung Kok Dipaksa!