Jakarta, CNBC Indonesia - Guru Besar Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, buka suara soal Laut China Selatan (LCS). Ini terkait pernyataan bersama antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping terkait kerja sama di area tumpang tindih teritorial itu, Selasa (12/11/2024).
Sebelumnya, Indonesia dan China sepakat bekerja sama di LCS. Area ini mengacu kepada "sepuluh garis putus-putus" yang diklaim oleh Beijing yang tidak memiliki dasar berdasarkan UNCLOS, dan juga beririsan dengan Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara.
Perjanjian bersama dengan China di jalur perairan strategis tersebut telah menjadi hal yang sensitif selama bertahun-tahun. Beberapa negara waspada bahwa kesepakatan tersebut dapat ditafsirkan sebagai legitimasi klaim besar Beijing.
Menurut Hikmahanto, kesepakatan semacam ini hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih. Hal ini berbeda dengan jalan panjang RI yang konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide pembangunan bersama dengan Beijing.
"Pengakuan klaim sepihak sepuluh garis putus-putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia dimana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China," ujarnya.
"Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal sepuluh garis putus-putus yang diklaim secara sepihak oleh China," tambahnya.
Hikmahanto pun juga menjelaskan bahwa banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar. Bila joint development ini benar-benar direalisasikan.
"Jika memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," ujarnya lagi.
Dari sisi geopolitik, hal ini akan juga membuat publik dunia bertanya-tanya. Ia menjelaskan bahwa negara-negara dunia yang selama ini mengapresiasi posisi Indonesia yang tidak mengakui sepuluh garis putus-putus dan dikuatkan dengan putusan PCA pada tahun 2016 akhirnya dapat mempertanyakan posisi Indonesia.
Sejauh ini, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia menegaskan kembali bahwa meski ada kesepakatan pengembangan maritim ini, RI tetaplah negara non-claimant dan tidak memiliki yurisdiksi yang tumpang tindih dengan Negeri Tirai Bambu di lautan itu.
"Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim (China) tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional. Kesepakatan itu tersebut tidak mempengaruhi kedaulatan, hak kedaulatan, atau yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara," tambah Kemenlu.
Perlu diketahui, profesor dari University of Tennessee, Krista Wiegand menyebut saling klaim penguasaan terhadap LCS berpotensi menjadi 'bom waktu' yang dapat memicu Perang Dunia ke-III (PD3). Tindakan China yang mengklaim wilayah itu, kata dia, membuatnya bersitegang dengan banyak negara Asean, seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei, termasuk Indonesia di Natuna Utara.
Klaim ini pun menyeret Amerika Serikat (AS), yang merupakan rival dari Beijing. Wiegand mengatakan AS memiliki kepentingan tidak langsung karena LCS dinilai memiliki lokasi yang sangat strategis.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Indonesia Usir Kapal China Yang Masuk Laut Natuna
Next Article Tetangga RI 'Nekat' Bangun Fasilitas Raksasa di LCS, Siaga Lawan China