Jakarta, CNBC Indonesia - Donald Trump memenangkan pemilu Amerika Serikat (AS) 5 November. Ia tak hanya unggul di suara elektoral (electoral vote) tetapi juga suara populer (popular vote).
Mengutip Associated Press (AP) hingga Kamis sore ini, suara elektoral yang didapat Trump berada di posisi 295, melewati batas kemenangan 270. Sementara lawannya Kamala Harris hanya 226 suara.
Penentu kemenangan Trump antara lain adalah suara di negara swing states. Ia memenangkan suara di tujuh swing states, Arizona, Michigan, Nevada, Wisconsin, North Carolina, Georgia, dan Pennsylvania.
Kemenangan Trump ini membuat sejumlah pihak bereaksi, tak terkecuali milisi Gaza Palestina dan Lebanon, Hamas dan Hizbullah. Diketahui, keduanya sedang dalam peperangan sengit dengan sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel.
Iran, juga ikut buka suara soal kemenangan Trump. Perlu diketahui, Iran juga telah terseret dengan ketegangan melawan Israel dalam beberapa pekan terakhir.
Apa kata mereka?
Hamas
Dalam sebuah pernyataan, pejabat senior Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan Trump harus belajar dari kesalahan Presiden AS petahana, Joe Biden. Menurutnya, wakil Biden yang saat ini menjadi kompetitor Trump, Kamala Harris, kalah dalam pemilihan lantaran sikapnya yang mendukung Israel atas serangan ke Gaza.
"Kekalahan Partai Demokrat adalah harga yang wajar untuk 'sikap kriminal' kepemimpinan mereka terhadap Gaza," kata pejabat itu dikutip Middle East Eye (MEE) dan Reuters.
"Kemenangan Trump mengujinya untuk menerjemahkan pernyataannya bahwa ia dapat menghentikan perang dalam hitungan jam," tambahnya menanggapi pidato kemenangan Trump.
Sementara itu, dalam keterangan terbaru, Hamas juga memberi pernyataan lain terkait Trump. Di mana mereka akan menilai pemerintahan Trump berdasarkan tindakan dan kebijakannya terhadap Palestina.
"Posisi kami terhadap pemerintahan baru AS bergantung pada posisi dan perilaku praktisnya terhadap rakyat Palestina, hak-hak mereka yang sah, dan tujuan mereka yang benar," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan dikutip AFP.
Hizbullah
Hizbullah skeptis dengan terpilihnya Trump. Hizbullah mengatakan bahwa hasil pemilihan presiden AS tidak akan berdampak pada kemungkinan kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri perang Israel-Hizbullah.
Pemimpinnya Naim Qassem salah satunya. Di mana, ia mengatakan hasil pemilu tidak akan berpengaruh pada perang di Lebanon, menyebut puluhan ribu pasukannya siap melawan Israel.
"Kami memiliki puluhan ribu pejuang perlawanan terlatih yang siap berperang," kata Qassem dalam pidato di televisi yang menandai 40 hari sejak pendahulunya Hassan Nasrallah terbunuh dalam serangan, dilansir AFP.
"Kami tidak mendasarkan harapan kami untuk penghentian agresi pada perkembangan politik. Apakah (Kamala) Harris menang atau (Donald) Trump menang, itu tidak berarti apa-apa bagi kami," tegasnya lagi dalam pidato yang direkam sebelumnya.
Iran
Secara resmi, Juru Bicara Pemerintah Iran Fatemeh Mohajerani mengatakan kepada wartawan di Teheran bahwa pihaknya tidak melihat adanya perbedaan antara Trump dan pesaingnya Kamala. Kebijakan AS ke Iran, tegasnya, akan sama saja.
"Pemilihan presiden AS tidak ada hubungannya dengan kami. Kebijakan umum AS dan Iran bersifat konstan," katanya.
"Tidak masalah siapa yang menjadi presiden di AS karena semua perencanaan yang diperlukan telah dibuat sebelumnya," tambah Mohajerani, menjelaskan bahwa Iran siap menghadapi sanksi baru apa pun.
Trump sendiri dalam sejarahnya telah mengambil sikap keras terhadap Iran saat ia memimpin pada 2017-2021 lalu. Washington secara sepihak menarik diri pada tahun 2018 dari perjanjian nuklir yang ditandatangani pada tahun 2015 dengan Iran dan memberlakukan serangkaian sanksi kejam terhadap Republik Islam tersebut.
Mohajerani menambahkan bahwa Iran saat ini sudah cukup kebal dengan sanksi apapun. Menurutnya, Teheran siap dalam menjalani sanksi terbaru bila Trump menjatuhkannya kembali.
"Pada dasarnya, kami tidak melihat adanya perbedaan antara kedua orang ini (Trump dan Harris). Sanksi telah memperkuat kekuatan internal Iran dan kami memiliki kekuatan untuk menghadapi sanksi baru," tambahnya.
Kemenangan Trump sebenarnya juga mengundang reaksi warga Iran. Sebagian khawatir akan meningkatnya risiko perang dan kesulitan ekonomi, sementara yang lain berharap sikap garis kerasnya dapat membawa perubahan politik di Iran.
"Saya sangat senang Trump menang. Saya harap dia melanjutkan tekanan maksimalnya terhadap Republik Islam dan itu akan berujung pada keruntuhan rezim ini," kata ibu rumah tangga Zohre, 42 tahun, kepada Reuters melalui telepon dari Teheran.
Di sisi lain, beberapa warga Iran kecewa Trump menang. Seperti guru pensiunan Hamidreza mengkhawatirkan tekanan ekonomi lebih lanjut Trump kepada Iran.
"Saya kecewa Trump menang. Itu berarti tekanan ekonomi yang lebih besar, risiko perang dengan Israel. Saya sangat khawatir," kata Hamidreza, 66 tahun, di kota Rasht di utara.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini: