IHSG Loyo dan Balik Lagi Ke 7.200-an, Sektor dan Saham Ini Jadi Biangnya

14 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau kembali merana pada perdagangan sesi I Kamis (14/11/2024), di tengah kembali memanasnya inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode Oktober 2024.

Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG terkoreksi 0,63% ke posisi Rp 7.262,29. IHSG pun kembali terkoreksi ke level psikologis 7.200.

Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 5,9 triliun dengan melibatkan 14,4 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 745.351 kali. Sebanyak 169 saham menguat, 395 saham melemah, dan 208 saham cenderung stagnan.

Terpantau seluruh sektor berada di zona merah pada sesi I hari ini, kecuali sektor teknologi yang masih mampu bergairah yakni mencapai 1,38%. Adapun sektor konsumer non-primer menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 1,33%.

Sementara dari sisi saham, dua emiten perbankan raksasa yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), serta emiten energi baru terbarukan (EBT) Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan IHSG masing-masing mencapai 7,3, 6,6, dan 5,7 indeks poin.

Berikut saham-saham yang menjadi penekan IHSG di sesi I hari ini.

IHSG kembali merana di tengah memanasnya kembali inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode Oktober 2024, setelah dalam beberapa bulan terakhir melandai.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS kembali menanjak Oktober 2024, mencapai 2,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari 2,4% di bulan sebelumnya. Kenaikan ini adalah yang pertama dalam tujuh bulan terakhir karena sejak Maret-September 2024, inflasi terus melandai.

Sedangkan IHK inti Negeri Paman Sam mencapai 3,3% (yoy) pada Oktober atau sama dengan bulan sebelumnya.

Secara bulanan, inflasi umum mencapai 0,2% pada Oktober 2024 atau sama dengan September. Demikian juga dengan inflasi inti bulanan.

Kondisi ini diperparah oleh hasil pemilu AS yang dimenangkan oleh Donald Trump. Kebijakan perdagangan proteksionis dan tarif tinggi yang diusung Trump dipandang akan memicu tekanan inflasi lebih tinggi karena meningkatnya biaya impor.

Bagi Indonesia, kenaikan inflasi ini menjadi alarm bahaya. Jika inflasi AS terus menanjak naik maka peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga secara agresif akan musnah. Kondisi ini bisa memicu capital outflow serta mengurangi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas BI rate.

Tak hanya itu saja, masih perkasanya dolar AS dan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS juga turut membebani IHSG, membuat investor asing terus mencatatkan penjualan bersih (net sell) hingga kemarin.

Indeks dolar AS (DXY) ditutup di posisi 106,505. Posisi ini adalah yang tertinggi sejak 1 November 2023 atau lebih dari setahun terakhir.

Lonjakan indeks dolar menandai jika investor tengah memburu dolar kembali dan meninggalkan instrumen berdenominasi non-dolar.

Kondisi ini diperparah dengan melesatnya imbal hasil US Treasury. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melesat ke 4,43% pada perdagangan kemarin atau rekor tertinggi sejak 1 Juli 2024.

Dua kondisi di atas mencerminkan jika investor sudah berbondong-bondong ke pasar keuangan Negeri Paman Sam kembali sehingga instrumen investasi di negara berkembang seperti Indonesia ditinggal dan melemah.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)

Saksikan video di bawah ini:

Video: IPO Jumbo-Musim Dividen, Pendongkrak Transaksi BEI Akhir Tahun

Next Article IHSG Ambruk 1,4% Sentuh 6.700 di Akhir Pekan, Ini Penyebabnya

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|