Jakarta, CNBC Indonesia - Partai-partai oposisi dan kelompok bisnis di Jerman mendesak Kanselir Olaf Scholz untuk segera menggelar pemilu guna mengurangi ketidakpastian politik setelah koalisi tiga partainya kolaps.
Krisis ini terjadi menyusul perdebatan anggaran yang semakin sengit dan ekonomi Jerman yang terus melemah, menimbulkan kekosongan kepemimpinan di tengah upaya Uni Eropa menyusun respons terhadap kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS.
Setelah konflik lama di dalam koalisi memuncak pada Rabu (6/11/2024), Scholz mengatakan akan mengajukan mosi kepercayaan di parlemen pada Januari. Bila gagal, Jerman kemungkinan akan menggelar pemilu pada Maret, lebih awal dari jadwal.
Friedrich Merz, ketua oposisi dari Partai Konservatif yang saat ini memimpin survei nasional, menginginkan mosi kepercayaan diajukan "paling lambat awal pekan depan."
"Kami tidak bisa membiarkan pemerintahan tanpa mayoritas selama berbulan-bulan, diikuti dengan kampanye pemilu yang panjang dan negosiasi koalisi berbulan-bulan," ujarnya, dilansir Reuters, Jumat (8/11/2024).
Krisis Ekonomi
Meningkatnya ketidakpastian politik berdampak pada lonjakan biaya pinjaman Jerman, dengan imbal hasil obligasi 10 tahun naik hingga 10 basis poin. Industri Jerman yang menghadapi biaya tinggi dan persaingan ketat dari Asia pun mendesak agar pemilu dipercepat untuk memastikan kestabilan kebijakan ekonomi.
Scholz bahkan menunda kepergiannya ke KTT Uni Eropa di Budapest dan membatalkan kehadirannya di Konferensi Perubahan Iklim PBB.
Krisis ini makin rumit setelah Scholz memecat Menteri Keuangan Christian Lindner dari Partai Demokrat Bebas (FDP) karena menolak rencana Scholz untuk melonggarkan batasan utang demi menambah anggaran bantuan Ukraina pada 2025 sebesar 3 miliar euro.
Sebagai akibat, FDP keluar dari koalisi, meninggalkan Scholz dan Partai Hijau untuk memimpin pemerintahan minoritas. Joerg Kukies, sekutu Scholz, akan diangkat sebagai Menteri Keuangan baru.
Keluarnya FDP juga diperkirakan akan mengakibatkan mundurnya koordinator transatlantik pemerintah, yang telah berusaha mempererat hubungan dengan Partai Republik AS dalam menghadapi kemungkinan Trump kembali menjabat.
Ekonom Carsten Brzeski dari ING menyebut krisis ini bisa menjadi keuntungan jangka panjang, karena pemilu baru dapat memberikan kejelasan dan panduan kebijakan yang lebih solid.
Namun, Menteri Ekonomi Robert Habeck dari Partai Hijau mengingatkan bahwa pemilu mungkin tidak langsung menyelesaikan tantangan, mengingat populisme kiri dan kanan yang berkembang.
"Anda tidak perlu menjadi peramal untuk mengetahui bahwa keadaan mungkin tidak otomatis menjadi lebih mudah setelah pemilu berikutnya," ujarnya.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Soal Taiwan, Ini "Lampu Kuning' China Untuk Jerman
Next Article 'Kiamat' Baru Ancam Jerman, Janji Pemerintah Dianggap Palsu