Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah 247 tahun berdiri dan 46 kali berganti presiden, Amerika Serikat (AS) masih punya satu kekurangan yang membuat Indonesia bisa menyombongkan diri. Ini adalah kehadiran perempuan di pucuk pimpinan negara.
Sejarah mencatat sepanjang AS tak pernah sekalipun mencatat perempuan sebagai presiden. Ini tentu berbeda dengan Indonesia yang pernah memiliki presiden perempuan, yakni Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, pada 2001 silam.
Dalam 20 tahun terakhir, perempuan memang selalu mengisi pencalonan pemilihan Presiden AS. Sebut saja Hillary Clinton (kandidat Presiden Partai Demokrat 2016) dan Kamala Harris (kandidat Wakil Presiden Partai Demokrat 2020 dan Presiden Partai Demokrat pada 2024).
Hanya saja, kesuksesan perempuan dalam Pemilu AS paling mentok hanya memenangi kursi Wakil Presiden. Pada Pemilu 2020, Harris terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi Presiden Joe Biden.
Empat tahun kemudian, dia mencalonkan diri lagi sebagai Presiden AS melawan Donald Trump. Namun kembali, ia kalah karena tak mencukupi suara elektoral.
Lantas, kenapa hal ini bisa terjadi di negara demokrasi terbesar di dunia?
Peneliti dari Rutgers University, Debbie Walsh, kepada Time menyebut hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, pengalaman sejarah. AS tak seperti negara-negara Eropa yang pernah memiliki pemimpin perempuan karena warisan monarki.
Di Inggris, misalnya, penduduknya tidak terlalu aneh saat melihat seorang perempuan menjadi orang nomor satu di Inggris. Sebab sejarah mencatat Inggris pernah dipimpin oleh banyak ratu.
Begitu pula di India. Penduduknya sudah biasa dengan pemimpin perempuan karena pernah dijajah oleh Ratu Victoria asal Inggris. Selama penjajahan, wajah Victoria malang-melintang di berbagai media, sehingga membuat rakyat menjadi terbiasa.
Namun, kondisi berbeda terjadi di AS. Ketika Pemilu, rakyat yang diselimuti pola pikir maskulin membuat mereka pasti memilih laki-laki sebagai Presiden AS.
"Jadi Anda meminta orang untuk menutup mata dan membayangkan seperti apa rupa seorang presiden. Dan itu tetap tidak terlihat sebagai seorang wanita, dan hampir tidak terlihat sebagai orang kulit berwarna. Jawabannya masih seorang pria kulit putih yang sudah tua," kata Walsh.
Kedua, sistem politik. Sistem politik AS tak seperti negara Eropa yang mayoritas menganut parlementer, sehingga memungkinkan perempuan terpilih menjadi presiden. Sistem parlementer yang memungkinkan partai mengajukan calon dan mendapat suara mayoritas lebih membuka peluang perempuan meraih pucuk pimpinan.
Maka, sistem politik AS sekarang sulit untuk perempuan. Para perempuan harus melewati seksisme dan stereotip yang besar. Ditambah lagi, perpolitikan AS diselimuti oleh tingginya popularitas.
Para pemilih sering memilih kandidat mereka berdasarkan kepribadian, sehingga membuat pemulihan lebih didasari oleh kesukaan yang biasanya merugikan perempuan.
Alasan kedua ini juga sejalan dengan pendapat pengamat politik Farida Jalalzai di The Atlantic.
Menurut Jalalzai, saat perempuan melewati pemilihan umum akan melewati bias gender besar dari masyarakat. Kondisi ini berbanding terbalik di sistem parlementer. Di sistem ini, jabatan diperoleh berdasarkan struktural dan kemampuan. Berbeda dengan sistem presidensial.
"perempuan harus berjuang secara lebih langsung, dan dalam skala yang lebih besar, melawan seksisme dan stereotip. Semakin publik menganggap posisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang kuat, semakin sulit bagi perempuan untuk mendapatkannya," tulis Farida Jalalzai.
Meski begitu, perpolitikan yang dinamis bukan berarti perempuan menjadi presiden bukan hal mustahil. Artinya, keterpilihan perempuan sebagai Presiden AS hanya tinggal menunggu waktu saja.
(mfa/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Salju Turun di Padang Pasir Al Jaws Arab Saudi
Next Article Pengangguran RI Paling Banyak Laki-laki atau Perempuan? Ini Datanya!