Jakarta, CNBC Indonesia - Donald Trump akan memasuki masa jabatan kedua sebagai presiden Amerika Serikat (AS) di tengah meningkatnya konflik di Timur Tengah. Kini, agenda America First-nya pun disoroti.
Trump sebelumnya telah berjanji untuk menghentikan konflik regional, namun sikap pro-Israelnya sebelumnya, ditambah dengan tuntutan kampanye untuk segera mengakhiri perang Gaza, menimbulkan ketidakpastian atas pendekatannya.
Dengan suara-suara isolasionis di Partai Republik dan gaya Trump yang tidak dapat diprediksi, perannya dalam krisis di Timur Tengah saat ini masih belum jelas.
Perang Gaza yang sedang berlangsung, bentrokan Israel dengan Hizbullah, dan program nuklir Iran menambah urgensi janji-janji Trump tetapi menimbulkan tantangan diplomatik dan militer yang berat.
Janji Perdamaian di Timur Tengah
Trump telah berulang kali menyerukan diakhirinya perang Gaza. "Selesaikan dan mari kita kembali ke perdamaian dan berhenti membunuh orang," desaknya pada April, menyusul tanggapan militer Israel terhadap serangan Hamas pada Oktober.
Pejabat Gaza melaporkan lebih dari 43.000 kematian setelah serangan Israel, dengan lebih dari separuh korban mengaku sebagai wanita dan anak-anak.
Mediator internasional dari AS, Mesir, dan Qatar sejauh ini gagal mengamankan gencatan senjata. Namun seruan Trump untuk "menyelesaikan pekerjaan" terhadap Hamas membuka pertanyaan tentang apakah ia mendukung otonomi penuh Israel di Gaza atau mengakhiri permusuhan dengan cepat.
Konflik Gaza telah menyebabkan kecaman luas terhadap Israel. Dua pengadilan internasional menyelidiki potensi kejahatan perang. Protes di seluruh kampus Amerika telah memicu perdebatan tentang dukungan AS untuk Israel.
Pendekatan Trump di masa lalu telah menekankan dukungannya terhadap Israel dengan tegas, tetapi masih belum jelas apakah ia akan mendorong resolusi diplomatik atau memaafkan operasi militer yang diperpanjang.
Netanyahu dan Trump: Aliansi yang Kompleks
Kepresidenan Trump kedua dapat memperbarui harapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk dukungan AS yang tidak terbatas.
Masa jabatan presiden Trump sebelumnya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mendukung klaim Israel atas Dataran Tinggi Golan, dan membina hubungan regional tanpa mengharuskan kemajuan perdamaian Palestina.
Kesejajaran Netanyahu dengan Trump dalam isu Iran dan Palestina memperkuat daya tariknya bagi faksi-faksi sayap kanan Israel, yang mendukung pemukiman kembali di Gaza dan mengadvokasi pengecualian Otoritas Palestina.
Netanyahu, yang telah berjuang dengan dukungan Biden yang lebih bersyarat, mungkin mengantisipasi sambutan yang lebih hangat dari Trump, bersama dengan sekutu AS terhadap setiap tantangan hukum internasional.
Ikatan AS-Israel yang lebih kuat juga dapat meningkatkan popularitas domestik Netanyahu saat ia menghadapi tekanan internal untuk mengamankan kemenangan yang menentukan atas Hamas.
Iran dan Proksinya: Jalan yang Tidak Pasti ke Depan
AS dan Israel juga bersaing dengan pasukan Hizbullah di Lebanon, yang telah menembakkan ribuan roket ke Israel, menewaskan puluhan orang. Serangan Israel telah menyebabkan pengungsian massal di Lebanon, sementara diplomasi AS belum menghasilkan gencatan senjata.
Trump telah mengindikasikan bahwa ia mungkin akan terus mendukung pertahanan regional Israel sambil mempertahankan fokusnya pada America First, tetapi serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran dapat mengubah pendirian ini.
Antipati Trump terhadap Iran telah tumbuh, dengan tuduhan campur tangan Iran dalam kampanyenya dan ketakutan akan pembalasan. Namun, pengaruh orang Kristen evangelis dan penasihat yang mendukung Israel dapat menekannya untuk mempertahankan keterlibatan AS, menjadikan strategi Timur Tengah Trump sebagai keseimbangan antara prioritas dalam negeri dan luar negeri.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ini Janji Trump Kalau Terpilih Jadi Presiden AS
Next Article MA Putuskan Trump 'Kebal' Hukum, Biden Beri Respons Menohok